tag:blogger.com,1999:blog-19977993182389874262024-03-05T03:14:10.398-08:00♥ Ruang Jeda ♥Dan lalu, bertebarlah kisah-kisah...Unknownnoreply@blogger.comBlogger117125tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-40305933175319185052011-02-18T23:36:00.000-08:002011-02-18T23:43:09.558-08:00Suami Itu ...<div style="text-align: justify;">Bismillah..</div><div style="text-align: justify;">Semoga bisa diambil manfaatnya oleh saudari-saudari muslimahku..</div><div style="text-align: justify;">(KISAH)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZjbb-cE-psQu2qPIdTY3UzIthn24rMJtnLp5a0aqnxqdnp7cr2pQJx3cAx74y21fpEiqkr6A-0cwiUbrkvskPkJfnE08ZiR40Mjf-bwdfzDdwY4jq0xsRRCNyLvDzpqMlFW61hwDTbnY/s1600/171740_142259642501543_141421482585359_256180_7325176_o.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZjbb-cE-psQu2qPIdTY3UzIthn24rMJtnLp5a0aqnxqdnp7cr2pQJx3cAx74y21fpEiqkr6A-0cwiUbrkvskPkJfnE08ZiR40Mjf-bwdfzDdwY4jq0xsRRCNyLvDzpqMlFW61hwDTbnY/s320/171740_142259642501543_141421482585359_256180_7325176_o.jpg" width="212" /></a></div><div style="text-align: justify;">Sore itu,, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan itu. “anty sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku. Kemudian akhwat itu .bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.</div><div style="text-align: justify;"> “mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya. “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya</div><div style="text-align: justify;">“mbak kerja dimana?”, ntahlah keyakinan apa yg meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahu ku, akhwat2 seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.</div><div style="text-align: justify;">“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.<br />
<br />
<a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;">“kenapa?” tanyaku lagi.</div><div style="text-align: justify;">Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.</div><div style="text-align: justify;"> Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya trsenyum.</div><div style="text-align: justify;">Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.</div><div style="text-align: justify;">“saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.</div><div style="text-align: justify;"> Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing . Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “abi,umi pusing nih, ambil sendiri lah”.</div><div style="text-align: justify;">Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi deman, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk diluar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuta hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yg di usapnya.</div><div style="text-align: justify;">“anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah2an umi ridho”, begitu katanya. Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”, lanjutnya</div><div style="text-align: justify;">“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelehkan suami.” Lantutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.</div><div style="text-align: justify;">“beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja . Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”</div><div style="text-align: justify;">Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah,,apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.</div><div style="text-align: justify;">“kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo ma jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.</div><div style="text-align: justify;">“anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia maremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membanguni saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan. Baigaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah dihadapnnya hanya karena sebuah pekerjaaan. Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya. Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anty pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptonya,, bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ya Allah….</div><div style="text-align: justify;">Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.</div><div style="text-align: justify;">Pelajaran yang membuatu menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Subhanallah..</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">semoga,,pekerjaan,, harta tak pernah menghalangimu untuk tidak menerima pinangan dari laki-laki yang baik agamanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGa8zoQTrhbfpDmI3JzlL8GVFcxLaKE8FPxoE11TVpJxoRqkqdTIZ5TiFwKKdwMXInKIEXZQ5gP7Bpc_CdLyHV1l8FppnON2pc1sCo-0RQHdEQHRSYbAJ7h1yuui7F7I1qdqe-bgMIIqo/s1600/23541_118849294795134_100000101931486_322367_38480_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="288" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGa8zoQTrhbfpDmI3JzlL8GVFcxLaKE8FPxoE11TVpJxoRqkqdTIZ5TiFwKKdwMXInKIEXZQ5gP7Bpc_CdLyHV1l8FppnON2pc1sCo-0RQHdEQHRSYbAJ7h1yuui7F7I1qdqe-bgMIIqo/s320/23541_118849294795134_100000101931486_322367_38480_n.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">sumber: <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=489429631539&id=1377729472">http://www.facebook.com/note.php?note_id=489429631539&id=1377729472</a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-26951515741139081932011-01-10T18:39:00.000-08:002011-01-10T18:39:48.811-08:00Akulah Lelaki Paling Bahagia: "Di Gubukku Ada Bidadari"<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFbGIdjSmpuNd3cG9EQvjHk2C8UAxJqlV265jjOI6VNlb3zlNmm6u-a287gjSydZZMzCJjh93yunnEHqZD7Xg5fQwOydj2x_DYiouhVESOoNsLMFEfSfkRx0rpcnKIE8ryd_erOUBeQQc/s1600/lembayung.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFbGIdjSmpuNd3cG9EQvjHk2C8UAxJqlV265jjOI6VNlb3zlNmm6u-a287gjSydZZMzCJjh93yunnEHqZD7Xg5fQwOydj2x_DYiouhVESOoNsLMFEfSfkRx0rpcnKIE8ryd_erOUBeQQc/s320/lembayung.jpg" width="214" /></a></div><div style="text-align: center;"><i>“Kesahajaanmu benar-benar menggelombangkan air mataku. Melihat semburat bahagia terbit di wajahmu, kembali kurasakan tetesan bening bak kristal itu mengalir syahdu dari pelupuk mataku."</i></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">*****</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>>>Saat itu. . .</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Aku sudah mengenalmu karena memang engkau adalah tetangga dekatku. Olehku, benar-benar tak terbayang bahwa engkau kan menjadi kekasih hatiku yang terajut oleh untaian tali pernikahan. Jujur terakui, wajahmu tak terlalu cantik. Namun begitu, sulit pula bagi lidahku untuk kututurkan bahwa engkau jelek rupa. Biasa saja. Bagimu, make-up tak begitu penting. Itu kuketahui karena engkau memang tak pernah memoleskannya di wajahmu.</div><div style="text-align: justify;"></div><a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;"><b>>>Aku dan Keputusanku…</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Engkau adalah wanita sederhana. Iya, wanita sederhana, pintar, tak banyak bicara. Engkaulah wanita yang bersahaja. Terlihat dewasa, pula. Kesederhanaan dan kesahajaan yang engkau peragakan lah yang justru terasa mengusik hati ini. Benar, tak bisa kupungkiri. Tak bisa kututupi. Akhirnya, nyaliku terpercik hebat lalu menghujankan sebuah keputusan. Kupilih engkau menjadi permaisuriku.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>>>Sejenak Tentangmu…</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Engkau, dinda, bukanlah keturunan orang berpangkat, juga bukan keturunan ningrat. Aku tak peduli. Raga yang terbalut kain-kain penutup aurat dan jiwa yang terpaut akhirat yang kuingini. Terlebihi terpolesi ilmu syar’i. Tekadku sudah bulat. Kupinang engkau dalam waktu dekat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Engkau, dinda, saat itu baru lulus SMA. Tak kusangka kalau engkau menerima lamaranku dengan tangan terbuka. Bahkan untuk menerimaku, engkau pangkas keinginanmu mencicipi bangku kuliah. Semua gurumu begitu menyayangkan keputusanmu karena engkau termasuk siswa yang cerdas. Aku tak tahu, mengapa engkau memilihku menjadi pangeran yang akan menduduki singgasana hatimu, dinda. Sujud syukurku pada Allah ‘azzawajallah. Alhamdulillah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>>>Percikan Bahagia di Hari Pernikahan…</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dan hari itu pun kita menikah. Terbitlah kebahagiaan yang menyelimuti sanubari. Sempurnalah mekar indah pucuk asmara. Telah tiba saatnya biduk harus berlayar di samudera kehidupan. Terhempas sudah karang-karang penantian yang bertengger di taman hati.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adakah jalinan yang indah selain jalinan dan untaian tali pernikahan?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adakah letupan-letupan cinta yang lebih menenteramkan hati sepasang muda-mudi selain dalam ikatan ini?</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Adakah hubungan yang lebih menabung kebaikan selain hubungan sah secara syar’i?</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Bak sejuknya tanah gersang yang kembali subur setelah dentuman hujan, bak cerahnya dedaunan muda yang indah menghijau bersemi, bak syahdunya kicauan burung menyambut mentari di pagi nan cerah, begitulah pula datangnya kuncup bahagia di hati.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>>>Aku Begitu Kagum. . .</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Semua terasa mudah dan indah, dinda. Engkaupun merasakan hal yang sama, bukan? Saat itu, usiaku 25 tahun dan engkau baru 19 tahun. Memang masih terlalu muda untuk kalangan umum namun engkau berani mengambil keputusan itu. Engkau berani mengakhiri masa lajangmu di usia dini. Dan tahukah engkau, dinda, itu membuatku semakin kagum padamu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dinda tersayang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Semenjak menikah hingga saat ini, kekagumanku padamu terpupuk subur. Kudapati engkau belum pernah mengeluh tentang keadaan yang kita alami bersama. Padahal engkau sendiri tahu bahwa penghasilanku tak seberapa, kadangkala tak seimbang antara pemasukan dan pengeluaran. Begitu sering kita harus mengikis beberapa keinginan karena kita tak sanggup menggapainya. Benar-benar tak pernah terlihat kristal bening menetes dari pelupuk matamu karena hal itu, dinda.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> <b>>>Tetesan Air Mata di Kasur Cinta..</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Masih teringatkah olehmu, dinda, saat pertama kali kita arungi bahtera ini di sebuah kontrakan mungil? Sama sekali kita tak punya apa-apa, bahkan alas tidur pun tak ada. Tetapi engkau benar-benar membuktikan kecerdikanmu, dinda.</div><div style="text-align: justify;">Seonggok pakaian kita yang masih tersimpan dalam tas usang, kau keluarkan. Engkaupun melipatnya lalu engkau tumpuk dua hingga tiga helai. Engkau kemudian mengaturnya berjejeran. Diatas barisan baju itu, engkau bentangkan jilbab lebarmu. Jadilah kasur cinta ala istriku terkasih.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> Sambil menyungging senyum manismu, engkau mempersilahkan aku mengempukkan diri di kasur cinta kita. Kutatap wajah ayumu, dinda. Kufokuskan mataku memandang hitam bola matamu sambil membalasmu dengan senyumku. Beberapa detik kemudian, kurasakan getaran hebat berkecamuk di hati. Dan, dan, dan berlinanglah air mata haruku. Aku cinta. Aku cinta. Aku mencintaimu, dinda.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> <b>>>Saatnya Engkau Melahirkan..</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bersamamu, wahai permaisuri hatiku, tak terasa begitu cepat bergulirnya waktu. Dengan penuh kasih, selalu indah nan syahdu terlalui hari-hari,dinda. Kekurangan materi yang terkadang menghantui seakan-akan bukanlah beban manakala kita senantiasa menebalkan keikhlasan di hati. Denganmu, dinda, begitu banyak pelajaran yang kupetik.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Masih ingatkah ketika usia pernikahan kita beranjak setahun, saat tujuh bulan usia kehamilanmu, dinda? Aku begitu panik ketika engkau mengalami pendarahan. Tapi engkau begitu tenang tak gugup. Dari keningmu yang berkerut dan nafasmu yang tertahan, aku tahu engkau sedang menahan sakit yang luar biasa. Segera saja kubawa engkau ke bidan. Dari pemeriksaannya, itu adalah tanda-tanda bahwa engkau akan melahirkan.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Jam 12 malam, saat manusia tengah asyik terlelap, anak pertama kita lahir dengan prematur. Ah, betapa aku bahagia, dinda. Berulang kali, kukecup keningmu dengan kecupan sayang penuh mesra.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><b>>>Segelas Air Putih..</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Aku melihat wajahmu melemas. Engkau begitu lelah. Secara perlahan, kau bisiki aku dengan berkata:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><blockquote> “abii…, aku lapeer.”</blockquote><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tersentak aku mendengarnya, dinda. Ya, seharian tadi engkau tak makan karena kesakitan sejak kemarin. Sore tadi aku hanya membeli sebungkus roti untukmu namun sudah kulahap habis karena tadi engkau tak nafsu makan. Kini tak ada roti atau jajanan lain. Mau beli, jam segini semua toko dan warung sudah tutup.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Alhamdulillah, ada segelas air putih yang dibawakan bidan. Kusuguhkan sendiri untukmu agar kemesraan kita tetap terjalin dan barangkali letihmu akan terkikis. Perlahan, engkau pun meneguknya, dinda. Tak ada tuntutan dan keluhan sedikit pun yang terlontar dari lisanmu. Engkau sungguh mengagumkan, dinda. Aku memuji Allah atas anugerah ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kesahajaanmu benar-benar menggelombangkan air mataku. Melihat semburat bahagia terbit di wajahmu, kembali kurasakan tetesan bening bak kristal itu mengalir syahdu dari pelupuk mataku. Seiring menyusuri lembah hidungku, kurasakan air mata ini kembali menyuburkan bunga cinta di taman hati. Kupersembahkan indah mekarnya untukmu, dinda. Semerbaknya begitu harum, bukan?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yah, bayi yang menjadi permata hati kita yan selamat dan nampak sehat telah membuatmu lupakan lapar dan dahaga.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><b>>>Engkaulah Penyejuk Hati..</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tahun berganti dan engkau tak pernah berubah. Hampir sepuluh tahun kita bersama dalam bahtera yang penuh dengan kesederhanaan tetapi kita tak pernah lontarkan keluh. Engkau tak pernah tuntut dunia dariku, dinda. Tak pernah minta ini. Tak pernah minta itu. Beli pakaian saja mungkin tiga atau empat tahun sekali. Perhiasan? Tak pernah engkau mengenalnya. Bagimu, bisa memenuhi kebutuhan saja tanpa berhutang sudah lebih dari cukup.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sungguh, dinda. Aku amat bahagia mengenalmu sosokmu. Aku memuji Allah atas anugerah ini. Engkaulah permata sekaligus belahan jiwa yang menyejukkan hati. Mata akan teduh memandangmu. Engkaulah sebenarnya perhiasan itu, dinda. Semoga engkau selalu tegar menemani hari-hariku hingga kita jelang negeri penuh cinta nan abadi di akhirat nanti.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">***</div><div style="text-align: justify;"> _____________</div><div style="text-align: justify;">Catatan Editor:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sejatinya, ini adalah kisah nyata yang tertera dalam buku “Bila Pernikahan Tak Seindah Impian”, penerbit Mumtaza, Solo, 2007, hal 118-122. Kepada penulis buku tersebut yaitu saudara Muhammad Albani (hafidzahullah), kami telah meminta ijin untuk menuturkan dan mengisahkan kembali sekaligus mendaur ulang bahasanya dengan tidak merubah alur kisah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kepada sepasang merpati dalam tulisan, semoga jalinan cinta yang terajut dalam kehalalan tersebut tetap terjaga hingga berjumpa dengan wajah Allah di surga, kelak.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Kepada para wanita, selalu kami titipkan nasehat agar merias diri dengan akhlak yang mulia dan membalutkan diri dengan ilmu syar’i. Ketahuilah wahai saudari-saudari kami bahwa salah satu dosa anda sebagai makhluk hawa, seperti yang disebutkan para ulama, adalah keengganan anda untuk menuntut ilmu dien ini. Jadikanlah wanita dalam kisah diatas sebagai salah satu ibrah untuk menapaki jenjang pernikahan. Terakhir, jadilah kalian wanita yang penuh kesahajaan dan selalu merasa cukup dalam dunia. Semoga Allah ‘azzawajalla mudahkan kalian memasuki surga-Nya.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Kepada sauadara-saudara kami, semoga kisah diatas menjadi salah satu percikan-percikan yang akan menerangi jenjang-jenjang kehidupan kita selanjutnya. Semoga Allah tabaraka wata’ala mengistiqamahkan kita di atas sunnah dan manhaj yang ditempuh para pendahulu sehingga kita mampu menjadi pribadi yang shahih berilmu nan mulia berakhlak. Kami rasakan fitnah-fitnah di akhir zaman begitu dahsyat menghantam karang keimanan.</div><div style="text-align: justify;">Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla illa ha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Salam persaudaraan penuh kehangatan ukhuwah,</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;">Fachrian Almer Akiera</div><div style="text-align: justify;">Mataram, Kota Ibadah, menjelang isya’ di hari Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1431 H.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">sumber: <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150117835024126&id=100000560711343">http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150117835024126&id=100000560711343</a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-44521234097731326702010-09-15T18:31:00.000-07:002010-09-15T18:32:25.511-07:00Bukan takut, namun karena cinta dan penghormatan<div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2MOYZnghAJZT5Yrj_b8gs5FqMuhNrKOtquA3Ja9VEy_s7bqCRUMu-RC2r1rgo8_jFJ4IvrjjSr7RXVTtd1iEwnBJzz4Us2D0on-2CsSJf3OAkMJ7fYkKtMSgTSQnCfJxw7q0OPFHsm-8/s1600/i_love_you__i_love_you_not____by_ohbradley.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2MOYZnghAJZT5Yrj_b8gs5FqMuhNrKOtquA3Ja9VEy_s7bqCRUMu-RC2r1rgo8_jFJ4IvrjjSr7RXVTtd1iEwnBJzz4Us2D0on-2CsSJf3OAkMJ7fYkKtMSgTSQnCfJxw7q0OPFHsm-8/s320/i_love_you__i_love_you_not____by_ohbradley.jpg" width="320" /></a></div>Percikan Iman </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Alkisah suatu hari seorang seorang sahabat mendatangi Khalifah Umar karena bertengkar dengan istrinya, dia merasa gundah akan keadaan dirinya, dan berniat mendatangi Khalifah Umar Bin Khatab untuk mengadukan permasalahannya, dengan gontai dia berjalan menuju rumah khalifah Umar, setiba di rumah Khalifah Umar langkahnya terhenti, di depan pintu dia mendengar Khalifah Umar sedang di "omeli" habis-habisan oleh seorang wanita, yang kemudian dia kenali adalah Istri Khalifah Umar, dan karena pintu rumah Khalifah sedikit terbuka, dia melihat Khalifah sangat menyedihkan, tak melawan hanya diam saja, seketika itu niatnya untuk mengadu pada Khalifah Umar terhenti. Dan saat dia berbalik arah hendak pulang, sebuah panggilan dari dalam rumah menghentikan langkahnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
<a name='more'></a><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Wahai, Fulan bin Fulan, ada apa gerangan dirimu" Kata Khalifah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Tidak Khalifah, saya lihat anda sedang sibuk, lebih baik saya tunda saja kunjungan saya" kata si Fulan</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Seketika Khalifah berdiri membuka pintu, dan menarik tangan orang tersebut "masuk", kata Khalifah</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Aku sudah berjanji menjadi Khalifah dan siap menerima pengaduan dari rakyatku kapanpun, ayo masuklah" kata sang Khalifah ramah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dengan canggung laki-laki itu memasuki rumah bertipe RTSS (Rumah Teramat Sangat Sederhana) milik khalifah Umar Bin Khatab. Kemudian duduklah dia di depan Khalifah Umar, setelah menikmati hidangan sekedarnya, Khalifah Umar mulai bertanya kepadaNya...</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Ada apa gerangan yang membuatmu kemari wahai Fulan, katakan padaku, permasalahan apa yang engkau hadapi" kata Khalifah Umar</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Seketika itu wajah si Fulan berubah merah, dia malu, atas masalah yang hendak dia adukan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Khalifah yang melihat gelagat ini terdiam dan menunggu dengan sabar, kemudian menepuk-nepuk bahu si fulan, setelah itu, menanyakan kembali pertanyaan yang sama.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hingga tiga kali barulah si Fulan menjawab dengan canggung.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">"Khalifah Umar masalahku tak sebesar apa yang kau hadapi, aku melihatmu tadi diomeli Istrimu sedemikian rupa dan engkau hanya diam saja, tak marah, ataupun menegurmya, bagaimana engkau mampu berbuat demikian? "</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Khalifah tersenyum sejenak kemudian, dia melihat ke arah si Fulan, mengajaknya berputar melihat sekeliling rumahnya, kemudian mengajak si Fulan duduk kembali.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kata Khalifah kemudian, "Kamu lihat rumahku teramat sangat sederhana, jangankan pembantu, untuk kebutuhan sehari-hari saja kadang aku tak mampu memberikannya pada Istriku, dan aku sama sekali tidak bisa membantu meringankan pekerjaannya karena kesibukanku sebagai Khalifah.</div><div style="text-align: justify;">Tahukah kamu seberapa berat beban yang harus dia tanggung, setelah dia membersihkan seisi rumah sendiri, memasak untuk diriku, merawat danmendidik anak-anakku.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Semua dia lakukan sendiri karena saya tidak bisa membayar pembantu untuk meringankan bebannya, padahal semua itu adalah tugas saya. Memuliakan seorang istri di dalam rumahnya adalah tugas suami. Tapi saya terlalu miskin menggaji pembantu sehingga dia harus mengerjakan semua sendiri. Untuk itu hanya sekedar di omeli saja kenapa saya harus marah, demi melihat pengorbanannya kepada keluarga.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dari cerita keluarga Umar, betapa seharusnya seorang perempuan di muliakan oleh suaminya, seorang perempuan seyogyanya di berikan kenyamanan dalam rumahnya, perlindungan, dan juga penghormatan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">------------------------------------------------------------------------------------------------------------</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-91317531358089389892010-09-08T20:45:00.000-07:002010-09-08T20:45:20.116-07:00Tentang Cinta Nan Tulus..<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhvlNrwoxP1jyyvSHxaJo7xbvjXLic7DHY-EdpT4mXcUTwOnfy0rrKgWJZxWGJyqGACpBM0ygM2KK1SwO2QGDyCLDGjQLBv9IzyACEewzZoFCy4WSmBsrVi8U0YJXCIVYaqGcGYyXvPk8/s1600/kasih+ibu3.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhvlNrwoxP1jyyvSHxaJo7xbvjXLic7DHY-EdpT4mXcUTwOnfy0rrKgWJZxWGJyqGACpBM0ygM2KK1SwO2QGDyCLDGjQLBv9IzyACEewzZoFCy4WSmBsrVi8U0YJXCIVYaqGcGYyXvPk8/s320/kasih+ibu3.jpg" width="236" /></a></div><div style="text-align: justify;">Kejadian ini terjadi di sebuah kota kecil di Taiwan, Dan sempat dipublikasikan lewat media cetak dan electronik. Ada seorang pemuda bernama A be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yg cerdas, rajin dan cukup ‘cool’. Setidaknya itu pendapat para gadis yang kenal dengan dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah dipromosikan ke posisi manager. Gaji-nya pun lumayan besar. Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor. Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman-teman kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan gadis-gadis muda. Bahkan putri pemilik perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.</div><div style="text-align: justify;"></div><a name='more'></a><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Dirumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit dibagian kiri dan belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul-betul seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting. Wanita tua ini tidak lain adalah ibu kandung A Be. Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan rutin layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (dengan memakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu-satunya, A be.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Namun A be adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya. Setiap kali ada teman atau kolega bisnis yang bertanya siapa wanita cacat dirumahnya, A be selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. “Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung saja, kasihan.. ” jawab A be. Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja Ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya. Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. A be mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali mencari pembantu, kalaupun ada mahal sekali). Hal ini membuat A be jadi BT (bad temper) dan uring-uringan dirumah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari Ibunya, A be melihat sebuah box kecil. Didalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A be. Foto berukuran ‘postcard’ itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah. Sang wanita menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka sedikitpun. Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A be. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya. Spontan air mata A be menetes keluar tanpa bisa di bendung. Dengan menggenggam foto dan Koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini. Sang Ibu-pun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. ”Yang sudah, ya sudah Nak, Ibu sudah memaafkan. Jangan diungkit-ungkit lagi ya.. ”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Setelah ibunya sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja ke supermarket. Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, A be tetap cuek, tidak mempedulikannya. Ia tak merasa malu sedikitpun atas kondisi Ibunya, sebaliknya ia merasa begitu bangga telah memiliki seorang Ibu yang memiliki cinta dan kasih nan tulus, selain Ibunya juga seorang pahlawan. Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta (wartawan). Dan membawa kisah ini kedalam media cetak dan elektronik.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span class="Apple-style-span" style="color: #634320; font-family: Trebuchet, 'Trebuchet MS', Arial, sans-serif; font-size: 13px;">***Sumber : Dicopykan (dan sedikit dimodifikasi) dari Forum.KapanLagi.com</span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-63351391461618030412010-08-19T22:30:00.000-07:002010-08-19T22:31:52.311-07:00Pemuda Langit Yang Dirindukan<div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrFXcUxaNGKbAcbABCX3XCOFT190goWHYRLtdmFlnC1k_c-Vb2anGxKvAdeA-_isUljabE5Chqwto4Fh2evPB_GzFGfq-BnIQVo_Dp9r9ZRMazkgxjuDGZOI9-x0GQCuSHom19Enj-zng/s1600/Dekstop-Ramadhan.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="179" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrFXcUxaNGKbAcbABCX3XCOFT190goWHYRLtdmFlnC1k_c-Vb2anGxKvAdeA-_isUljabE5Chqwto4Fh2evPB_GzFGfq-BnIQVo_Dp9r9ZRMazkgxjuDGZOI9-x0GQCuSHom19Enj-zng/s320/Dekstop-Ramadhan.jpg" width="320" /></a></div>Pada zaman Nabi Muhammad saw, ada seorang pemuda bernama Uwais Al-Qarni. Ia tinggal dinegeri Yaman. Uwais adalah seorang yang terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarni adalah seorang anak yatim. Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan domba-domba orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia dan ibunya. Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari.</div><div style="text-align: justify;"><br />
<a name='more'></a><br />
</div><div style="text-align: justify;">Uwais Al-Qarni terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah. Uwais Al-Qarni seringkali melakukan puasa. Bila malam tiba, dia selalu berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan Nabi Muhammad, sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Berita tentang Perang Uhud yang menyebabkan Nabi Muhammad mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya, telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarni. Segera Uwais Al-Qarni mengetok giginya dengan batu hingga patah. Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad saw, sekalipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais Al-Qarni untuk menemui Nabi saw semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Ia rindu mendengar suara Nabi saw, kerinduan karena iman.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh? Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang wajah nabi Muhammad saw.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Akhirnya, kerinduan kepada Nabi saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan mohon ijin kepada ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais Al-Qarni walaupun telah uzur, merasa terharu dengan ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa dengan Nab, segeralah engkau kembali pulang.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Betapa gembiranya hari Uwais Al-Qarni mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas untuk berangkat. Namun, ia tak lupa mnyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju Madinah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarni sampai juga dikota madinah. Segera ia mencari rumah nabi Muhammad saw. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sampbil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al-Qarni menanyakan Nabi saw yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada berada dirumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al-Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah ra, istri Nabi saw. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi saw, tetapi Nabi saw tidak dapat dijumpainya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “engkau harus lekas pulang”.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi saw. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi saw. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi saw menanyakan kepada Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi saw dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad saw melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya., “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih ditengah talapak tangannya.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali ra dan Umar ra seraya berkata, “suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Waktu terus berganti, dan Nabi saw kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khatab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi saw itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa khalifah Umar ra dan sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia ?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Rombongan kalifah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kalifah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kalifah yang baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarni.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekati kedua sahabat Nabi saw ini dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi saw. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al-Qarni.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi saw bahwa dia itu adalah penghuni langit. Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah.” Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdulla, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Wajah Uwais Al-Qarni”.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan doa dan istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “saya lah yang harus meminta doa pada kalian.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.” Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, disana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al-Qarni adalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, disitu selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais Al-Qarni ? bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamanmu.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar ke mana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni disebabkan permintaan Uwais Al-Qarni sendiri kepada Khalifah Umar ra dan Ali ra, agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw, bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-62151248508969807132010-07-20T23:16:00.000-07:002010-07-20T23:16:17.821-07:00Chatting Dengan Tuhan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizYXmUKxgBsixDqiVS69_rrT5pNzLAn5oDga_iJ3QLvxpGOKhIMcfb1fZiDw_5zDckqfw-iesdX0-qx2U5lXEabOQjd-k262FiVr4Jurkba6UyfNq_8IUt4i-up-M2Xn-7D0A8auWl6jI/s1600/yahoo-messenger-10-sing-in-screen.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="315" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizYXmUKxgBsixDqiVS69_rrT5pNzLAn5oDga_iJ3QLvxpGOKhIMcfb1fZiDw_5zDckqfw-iesdX0-qx2U5lXEabOQjd-k262FiVr4Jurkba6UyfNq_8IUt4i-up-M2Xn-7D0A8auWl6jI/s320/yahoo-messenger-10-sing-in-screen.png" width="320" /></a></div><br />
<br />
BUZZ...<br />
<br />
TUHAN :<br />
Kamu memanggilKu ?<br />
<br />
AKU :<br />
Memanggil-Mu? Tidak.. Ini siapa ya?<br />
<br />
TUHAN :<br />
Ini TUHAN. Aku mendengar doamu.<br />
Jadi Aku ingin berbincang-bincang denganmu.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
AKU :<br />
Ya, saya memang sering berdoa, hanya agar saya merasa lebih baik.<br />
Tapi sekarang saya sedang sibuk, sangat sibuk.<br />
<br />
TUHAN :<br />
Sedang sibuk apa? Semut juga sibuk.<br />
<br />
AKU :<br />
Nggak tau ya. Yang pasti saya tidak punya waktu luang sedikitpun.<br />
Hidup jadi seperti diburu-buru. Setiap waktu telah menjadi waktu sibuk.<br />
<br />
TUHAN :<br />
Benar sekali. Aktivitas memberimu kesibukan. Tapi produktivitas memberimu hasil.<br />
Aktivitas memakan waktu, produktivitas membebaskan waktu.<br />
<br />
AKU :<br />
Saya mengerti itu. Tapi saya tetap tidak dapat menghindarinya.<br />
Sebenarnya, saya tidak mengharapkan Tuhan mengajakku chatting seperti ini.<br />
<br />
TUHAN :<br />
Aku ingin memecahkan masalahmu dengan waktu, dengan memberimu beberapa petunjuk.<br />
Di era internet ini, Aku ingin menggunakan medium yang lebih nyaman untukmu daripada mimpi, misalnya.<br />
<br />
AKU :<br />
OKE, sekarang beritahu saya, mengapa hidup jadi begitu rumit?<br />
<br />
TUHAN :<br />
Berhentilah menganalisa hidup. Jalani saja. Analisalah yang membuatnya jadi rumit.<br />
<br />
AKU :<br />
Kalau begitu mengapa kami manusia tidak pernah merasa senang?<br />
<br />
TUHAN :<br />
Hari ini adalah hari esok yang kamu khawatirkan kemarin.<br />
Kamu merasa khawatir karena kamu menganalisa. Merasa khawatir menjadi kebiasaanmu.<br />
Karena itulah kamu tidak pernah merasa senang.<br />
<br />
AKU :<br />
Tapi bagaimana mungkin kita tidak khawatir jika ada begitu banyak ketidakpastian.<br />
<br />
TUHAN :<br />
Ketidakpastian itu tidak bisa dihindari. Tapi kekhawatiran adalah sebuah pilihan.<br />
<br />
AKU :<br />
Tapi, begitu banyak rasa sakit karena ketidakpastian.<br />
<br />
TUHAN :<br />
Rasa sakit tidak bisa dihindari, tetapi penderitaan adalah sebuah pilihan.<br />
<br />
AKU :<br />
Jika penderitaan itu pilihan, mengapa orang baik selalu menderita?<br />
<br />
TUHAN :<br />
Intan tidak dapat diasah tanpa gesekan. Emas tidak dapat dimurnikan tanpa api.<br />
Orang baik melewati rintangan, tanpa menderita.<br />
Dengan pengalaman itu, hidup mereka menjadi lebih baik, bukan sebaliknya.<br />
<br />
AKU :<br />
Maksudnya pengalaman pahit itu berguna?<br />
<br />
TUHAN :<br />
Ya. Dari segala sisi, pengalaman adalah guru yang keras.<br />
Guru pengalaman memberi ujian dulu, baru pemahamannya.<br />
<br />
AKU :<br />
Tetapi, mengapa kami harus melalui semua ujian itu?<br />
Mengapa kami tidak dapat hidup bebas dari masalah?<br />
<br />
TUHAN :<br />
Masalah adalah rintangan yang ditujukan untuk meningkatkan kekuatan mental.<br />
Kekuatan dari dalam diri bisa keluar melalui perjuangan dan rintangan, bukan dari berleha-leha.<br />
<br />
AKU :<br />
Sejujurnya, di tengah segala persoalan ini, kami tidak tahu kemana harus melangkah…<br />
<br />
TUHAN :<br />
<br />
Jika kamu melihat ke luar, maka kamu tidak akan tahu kemana kamu melangkah.<br />
<br />
Lihatlah ke dalam.<br />
Melihat ke luar, kamu bermimpi.<br />
Melihat ke dalam, kamu terjaga.<br />
Mata memberimu penglihatan.<br />
Hati memberimu arah.<br />
<br />
AKU :<br />
Kadang-kadang ketidakberhasilan membuatku menderita.<br />
Apa yang dapat saya lakukan?<br />
<br />
TUHAN :<br />
Keberhasilan adalah ukuran yang dibuat oleh orang lain.<br />
Kepuasan adalah ukuran yang dibuat olehmu sendiri.<br />
Mengetahui tujuan perjalanan akan terasa lebih memuaskan daripada<br />
mengetahui bahwa kau sedang berjalan.<br />
Bekerjalah dengan kompas, biarkan orang lain berkejaran dengan waktu.<br />
<br />
AKU :<br />
Di dalam saat-saat sulit, bagaimana saya bisa tetap termotivasi?<br />
<br />
TUHAN :<br />
Selalulah melihat sudah berapa jauh saya berjalan, daripada masih berapa jauh saya harus berjalan.<br />
Selalu hitung yang harus kau syukuri,<br />
jangan hitung apa yang tidak kau peroleh.<br />
<br />
AKU :<br />
Apa yang menarik dari manusia?<br />
<br />
TUHAN :<br />
Jika menderita, mereka bertanya “Mengapa harus aku?”.<br />
Jika mereka bahagia, tidak ada yang pernah bertanya “Mengapa harus aku?”<br />
<br />
AKU :<br />
Kadangkala saya bertanya, siapa saya, mengapa saya di sini?<br />
<br />
TUHAN :<br />
Jangan mencari siapa kamu, tapi tentukanlah ingin menjadi apa kamu.<br />
Berhentilah mencari mengapa saya di sini. Ciptakan tujuan itu.<br />
Hidup bukanlah proses pencarian, tapi sebuah proses penciptaan.<br />
<br />
AKU :<br />
Bagaimana saya bisa mendapatkan yang terbaik dalam hidup ini?<br />
<br />
TUHAN :<br />
Hadapilah masa lalumu tanpa penyesalan.<br />
Peganglah saat ini dengan keyakinan.<br />
Siapkan masa depan tanpa rasa takut.<br />
<br />
AKU :<br />
Pertanyaan terakhir, Tuhan.<br />
Seringkali saya merasa doa-doaku tidak dijawab.<br />
<br />
TUHAN :<br />
Tidak ada doa yang tidak dijawab.<br />
Seringkali jawabannya adalah TIDAK.<br />
<br />
AKU :<br />
Terima kasih Tuhan atas chatting yang<br />
indah ini.<br />
<br />
TUHAN :<br />
Oke.<br />
Teguhlah dalam iman, dan buanglah rasa takut.<br />
Hidup adalah misteri untuk dipecahkan, bukan masalah untuk diselesaikan.<br />
Percayalah padaKu. Hidup itu indah jika kamu tahu cara untuk hidup.<br />
<br />
………TUHAN has signed outUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-27907562067031274772010-07-13T20:15:00.000-07:002010-07-13T20:55:06.827-07:00Kisah Gadis Kecil Yang Shalihah [Subhanallah]<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGzvgtLj3z4eTG2w6GJ3D0aD_NPZp4ztwXqKS8FXwX4qshIlFlj_3rAq-rxIQlwVZM5BXgZBBT-mjM1hWdEo5Z5pBgZEm2O1D2u18IU08dG85DCE7c33zwBUbHgVFWugJ3HKRoWXDeyRY/s1600/g6pgrz4yec9bdfz324qn.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGzvgtLj3z4eTG2w6GJ3D0aD_NPZp4ztwXqKS8FXwX4qshIlFlj_3rAq-rxIQlwVZM5BXgZBBT-mjM1hWdEo5Z5pBgZEm2O1D2u18IU08dG85DCE7c33zwBUbHgVFWugJ3HKRoWXDeyRY/s320/g6pgrz4yec9bdfz324qn.jpg" /></a></div><div style="text-align: justify;">Oleh: Ummu Mariah Iman Zuhair</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Aku akan meriwayatkan kepada anda kisah yang sangat berkesan ini, seakan-akan anda mendengarnya langsung dari lisan ibunya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berkatalah ibu gadis kecil tersebut:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Saat aku mengandung putriku, Afnan, ayahku melihat sebuah mimpi di dalam tidurnya. Ia melihat banyak burung pipit yang terbang di angkasa. Di antara burung-burung tersebut terdapat seekor merpati putih yang sangat cantik, terbang jauh meninggi ke langit. Maka aku bertanya kepada ayah tentang tafsir dari mimpi tersebut. Maka ia mengabarkan kepadaku bahwa burung-burung pipit tersebut adalah anak-anakku, dan sesungguhnya aku akan melahirkan seorang gadis yang bertakwa. Ia tidak menyempurnakan tafsirnya, sementara akupun tidak meminta tafsir tentang takwil mimpi tersebut.</div><a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Setelah itu aku melahirkan putriku, Afnan. Ternyata dia benar-benar seorang gadis yang bertakwa. Aku melihatnya sebagai seorang wanita yang shalihah sejak kecil. Dia tidak pernah mau mengenakan celana, tidak juga mengenakan pakaian pendek, dia akan menolak dengan keras, padahal dia masih kecil. Jika aku mengenakan rok pendek padanya, maka ia mengenakan celana panjang di balik rok tersebut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Afnan senantiasa menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Setelah dia menduduki kelas 4 SD, dia semakin menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Dia menolak pergi ke tempat-tempat permainan, atau ke pesta-pesta walimah. Dia adalah seorang gadis yang perpegang teguh dengan agamanya, sangat cemburu di atasnya, menjaga shalat-shalatnya, dan sunnah-sunnahnya. Tatkala dia sampai SMP mulailah dia berdakwah kepada agama Allah. Dia tidak pernah melihat sebuah kemungkaran kecuali dia mengingkarinya, dan memerintah kepada yang ma'ruf, dan senantiasa menjaga hijabnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Permulaan dakwahnya kepada agama Allah adalah permulaan masuk Islamnya pembantu kami yang berkebangsaan Srilangka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ibu Afnan melanjutkan ceritanya:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tatkala aku mengandung putraku, Abdullah, aku terpaksa mempekerjakan seorang pembantu untuk merawatnya saat kepergianku, karena aku adalah seorang karyawan. Ia beragama Nasrani. Setelah Afnan mengetahui bahwa pembantu tersebut tidak muslimah, dia marah dan mendatangiku seraya berkata: "Wahai ummi, bagaimana dia akan menyentuh pakaian-pakaian kita, mencuci piring-piring kita, dan merawat adikku, sementara dia adalah wanita kafir?! Aku siap meninggalkan sekolah, dan melayani kalian selama 24 jam, dan jangan menjadikan wanita kafir sebagai pembantu kita!!"</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Aku tidak memperdulikannya, karena memang kebutuhanku terhadap pembantu tersebut amat mendesak. Hanya dua bulan setelah itu, pembantu tersebut mendatangiku dengan penuh kegembiraan seraya berkata: "Mama, aku sekarang menjadi seorang muslimah, karena jasa Afnan yang terus mendakwahiku. Dia telah mengajarkan kepadaku tentang Islam." Maka akupun sangat bergembira mendengar kabar baik ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Saat Afnan duduk di kelas 3 SMP, pamannya memintanya hadir dalam pesta pernikahannya. Dia memaksa Afnan untuk hadir, jika tidak maka dia tidak akan ridha kepadanya sepanjang hidupnya. Akhirnya Afnan menyetujui permintaannya setelah ia mendesak dengan sangat, dan juga karena Afnan sangat mencintai pamannya tersebut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Afnan bersiap untuk mendatangi pernikahan itu. Dia mengenakan sebuah gaun yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia adalah seorang gadis yang sangat cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan kecantikannya. Semua orang kagum dan bertanya-tanya, siapa gadis ini? Mengapa engkau menyembunyikannya dari kami selama ini?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Setelah menghadiri pernikahan pamannya, Afnan terserang kanker tanpa kami ketahui. Dia merasakan sakit yang teramat sakit pada kakinya. Dia menyembunyikan rasa sakit tersebut dan berkata: "Sakit ringan di kakiku." Sebulan setelah itu dia menjadi pincang, saat kami bertanya kepadanya, dia menjawab: "Sakit ringan, akan segera hilang insya Allah." Setelah itu dia tidak mampu lagi berjalan. Kamipun membawanya ke rumah sakit.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Selesailah pemeriksaan dan diagnosa yang sudah semestinya. Di dalam salah satu ruangan di rumah sakit tersebut, sang dokter berkebangsaan Turki mengumpulkanku, ayahnya, dan pamannya. Hadir pula pada saat itu seorang penerjemah, dan seorang perawat yang bukan muslim. Sementara Afnan berbaring di atas ranjang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dokter mengabarkan kepada kami bahwa Afnan terserang kanker di kakinya, dan dia akan memberikan 3 suntikan kimiawi yang akan merontokkan seluruh rambut dan alisnya. Akupun terkejut dengan kabar ini. Kami duduk menangis. Adapun Afnan, saat dia mengetahui kabar tersebut dia sangat bergembira dan berkata: "Alhamdulillah… alhamdulillah… alhamdulillah." Akupun mendekatkan dia di dadaku sementara aku dalam keadaan menangis. Dia berkata: "Wahai ummi, alhamdulillah, musibah ini hanya menimpaku, bukan menimpa agamaku."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Diapun bertahmid memuji Allah dengan suara keras, sementara semua orang melihat kepadanya dengan tercengang!!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Aku merasa diriku kecil, sementara aku melihat gadis kecilku ini dengan kekuatan imannya dan aku dengan kelemahan imanku. Setiap orang yang bersama kami sangat terkesan dengan kejadian ini dan kekuatan imannya. Adapun penerjamah dan para perawat, merekapun menyatakan keislamannya!!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berikutnya adalah perjalanan dia untuk berobat dan berdakwah kepada Allah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sebelum Afnan memulai pengobatan dengan bahan-bahan kimia, pamannya meminta akan menghadirkan gunting untuk memotong rambutnya sebelum rontok karena pengobatan. Diapun menolak dengan keras. Aku mencoba untuk memberinya pengertian agar memenuhi keinginan pamannya, akan tetapi dia menolak dan bersikukuh seraya berkata: "Aku tidak ingin terhalangi dari pahala bergugurannya setiap helai rambut dari kepalaku."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kami (aku, suamiku dan Afnan) pergi untuk yang pertama kalinya ke Amerika dengan pesawat terbang. Saat kami sampai di sana, kami disambut oleh seorang dokter wanita Amerika yang sebelumnya pernah bekerja di Saudi selama 15 tahun. Dia bisa berbicara bahasa Arab. Saat Afnan melihatnya, dia bertanya kepadanya: "Apakah engkau seorang muslimah?" Dia menjawab: "Tidak."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Afnanpun meminta kepadanya untuk mau pergi bersamanya menuju ke sebuah kamar yang kosong. Dokter wanita itupun membawanya ke salah satu ruangan. Setelah itu dokter wanita itu kemudian mendatangiku sementara kedua matanya telah terpenuhi linangan air mata. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya sejak 15 tahun dia di Saudi, tidak pernah seorangpun mengajaknya kepada Islam. Dan di sini datang seorang gadis kecil yang mendakwahinya. Akhirnya dia masuk Islam melalui tangannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di Amerika, mereka mengabarkan bahwa tidak ada obat baginya kecuali mengamputasi kakinya, karena dikhawatirkan kanker tersebut akan menyebar sampai ke paru-paru dan akan mematikannya. Akan tetapi Afnan sama sekali tidak takut terhadap amputasi, yang dia khawatirkan adalah perasaan kedua orang tuanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada suatu hari Afnan berbicara dengan salah satu temanku melalui Messenger. Afnan bertanya kepadanya: "Bagaimana menurut pendapatmu, apakah aku akan menyetujui mereka untuk mengamputasi kakiku?" Maka dia mencoba untuk menenangkannya, dan bahwa mungkin bagi mereka untuk memasang kaki palsu sebagai gantinya. Maka Afnan menjawab dengan satu kalimat: "Aku tidak memperdulikan kakiku, yang aku inginkan adalah mereka meletakkanku di dalam kuburku sementara aku dalam keadaan sempurna." Temanku tersebut berkata: "Sesungguhnya setelah jawaban Afnan, aku merasa kecil di hadapan Afnan. Aku tidak memahami sesuatupun, seluruh pikiranku saat itu tertuju kepada bagaimana dia nanti akan hidup, sedangkan fikirannya lebih tinggi dari itu, yaitu bagaimana nanti dia akan mati."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kamipun kembali ke Saudi setelah kami amputasi kaki Afnan, dan tiba-tiba kanker telah menyerang paru-paru!!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Keadaannya sungguh membuat putus asa, karena mereka meletakkannya di atas ranjang, dan di sisinya terdapat sebuah tombol. Hanya dengan menekan tombol tersebut maka dia akan tersuntik dengan jarum bius dan jarum infus.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di rumah sakit tidak terdengar suara adzan, dan keadaannya seperti orang yang koma. Tetapi hanya dengan masuknya waktu shalat dia terbangun dari komanya, kemudian meminta air, kemudian wudhu' dan shalat, tanpa ada seorangpun yang membangunkannya!!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di hari-hari terakhir Afnan, para dokter mengabari kami bahwa tidak ada gunanya lagi ia di rumah sakit. Sehari atau dua hari lagi dia akan meninggal. Maka memungkinkan bagi kami untuk membawanya ke rumah. Aku ingin dia menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah ibuku.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di rumah, dia tidur di sebuah kamar kecil. Aku duduk di sisinya dan berbicara dengannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada suatu hari, istri pamannya datang menjenguk. Aku katakan bahwa dia berada di dalam kamar sedang tidur. Ketika dia masuk ke dalam kamar, dia terkejut kemudian menutup pintu. Akupun terkejut dan khawatir terjadi sesuatu pada Afnan. Maka aku bertanya kepadanya, tetapi dia tidak menjawab. Maka aku tidak mampu lagi menguasai diri, akupun pergi kepadanya. Saat aku membuka kamar, apa yang kulihat membuatku tercengang. Saat itu lampu dalam keadaan dimatikan, sementara wajah Afnan memancarkan cahaya di tengah kegelapan malam. Dia melihat kepadaku kemudian tersenyum. Dia berkata: "Ummi, kemarilah, aku mau menceritakan sebuah mimpi yang telah kulihat." Kukatakan: "(Mimpi) yang baik Insya Allah." Dia berkata: "Aku melihat diriku sebagai pengantin di hari pernikahanku, aku mengenakan gaun berwarna putih yang lebar. Engkau, dan keluargaku, kalian semua berada disekelilingku. Semuanya berbahagia dengan pernikahanku, kecuali engkau ummi."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Akupun bertanya kepadanya: "Bagaimana menurutmu tentang tafsir mimpimu tersebut." Dia menjawab: "Aku menyangka, bahwasannya aku akan meninggal, dan mereka semua akan melupakanku, dan hidup dalam kehidupan mereka dalam keadaan berbahagia kecuali engkau ummi. Engkau terus mengingatku, dan bersedih atas perpisahanku." Benarlah apa yang dikatakan Afnan. Aku sekarang ini, saat aku menceritakan kisah ini, aku menahan sesuatu yang membakar dari dalam diriku, setiap kali aku mengingatnya, akupun bersedih atasnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada suatu hari, aku duduk dekat dengan Afnan, aku, dan ibuku. Saat itu Afnan berbaring di atas ranjangnya kemudian dia terbangun. Dia berkata: "Ummi, mendekatlah kepadaku, aku ingin menciummu." Maka diapun menciumku. Kemudian dia berkata: "Aku ingin mencium pipimu yang kedua." Akupun mendekat kepadanya, dan dia menciumku, kemudian kembali berbaring di atas ranjangnya. Ibuku berkata kepadanya: "Afnan, ucapkanlah la ilaaha illallah."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Maka dia berkata: "Asyhadu alla ilaaha illallah."</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kemudian dia menghadapkan wajah ke arah qiblat dan berkata: "Asyhadu allaa ilaaha illallaah." Dia mengucapkannya sebanyak 10 kali. Kemudian dia berkata: "Asyhadu allaa ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah." Dan keluarlah rohnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Maka kamar tempat dia meninggal di dalamnya dipenuhi oleh aroma minyak kasturi selama 4 hari. Aku tidak mampu untuk tabah, keluargaku takut akan terjadi sesuatu terhadap diriku. Maka merekapun meminyaki kamar tersebut dengan aroma lain sehingga aku tidak bisa lagi mencium aroma Afnan. Dan tidak ada yang aku katakan kecuali alhamdulillahi rabbil 'aalamin. (AR)*</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sumber: Majalah Qiblati edisi 4 Tahun 3</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-83131782578410026682010-06-15T22:15:00.000-07:002010-06-15T22:15:39.972-07:00Akhirnya Cintaku Berlabuh karena Allah [part three]<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1LoxwwJAN5A18eGQE9dBnhFLdSWY_X1LKXuS7haYzxuYjp2hDAqvp-4aSGkfDiI7pBOAc7-JEh6eR981rqda3nzupH3ZhJ3Sv8kZCo2v8htPNqH19VtisC7wtB_8ZXREveGMEC9D7VCI/s1600/timthumb.php.jpeg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1LoxwwJAN5A18eGQE9dBnhFLdSWY_X1LKXuS7haYzxuYjp2hDAqvp-4aSGkfDiI7pBOAc7-JEh6eR981rqda3nzupH3ZhJ3Sv8kZCo2v8htPNqH19VtisC7wtB_8ZXREveGMEC9D7VCI/s320/timthumb.php.jpeg" /></a></div><div style="text-align: justify;">Hari Kamis, 24 November 2006. Kami melangsungkan pernikahan dengan sagat sederhana. Acara tersebut Cuma dihadiri oleh orangtua kami beserta dua orang rekanan papa. Setelah akad nikah aku langsung mengantar ustadz sekalian shalat dhuhur. Betapa senangnya hatiku, akkhirnya aku bisa merasakan cinta yang tulus karena Alloh. Semoga kami bisa membentuk keluarga sakinah mawaddah, wa rahmah dan senantiasa dalam ketaatan kepada Alloh.....Itulah doaku saat itu.</div><a name='more'></a><br />
Sepulang dari mengantar ustadz, perasaan bahagia itu seakan buyar mendapati Nina yang baru saja menjadi istriku tergeletak di lantai, dari hidung dan mulutnya kembali berlumuran darah. Dan tangannya terlihat ada goresan. Kami langsung membawanya ke rumah sakit, diperjalanan, kondisi Nina terlihat sangat lemah. Terdengar suaranya memanggilku dan berkata agar akku harus tetap di jalan yang diridhai-Nya sambil memegang erat tanganku dengan tulus, air mataku tak tertahankan melihat keadaan Nina yang terus berdzikir sambil menangis.....Dia juga selalu menanyakan saudari-saudarinya dimana ?<br />
<br />
Setibanya di rumah sakit, aku bertanya-tanya kenapa tangan Nina tergores. Aku pun menulis SMS kepada saudari-saudari Nina. Ternyata, tangan Nina tergores ketika hendak menemui saudari-saudainya dengan keluar dari kamar. Karena pintu kamar terkunci, Nina ingin keluar melalui jendela sehingga menyebabkan tangannya tergores. Nina tak kunjung sadar hingga larut malam, aku pun tertidur dan tidak menyadari kalau Nina bangkit dari tempat tidurnya. Dia ingin sekali menemui saudari-saudarinya dan dia tidak menyadari kalau hari telah larut malam. Dia Cuma berkata, “Pengin ketemu saudariku karena sudah tak ada waktu lagi.” Berhubung Nina masih lemah, dia pun jatuh pingsan setelah bebrapa saat melangkah.<br />
<br />
Aku benar-benar kaget dan bingung mau memanggil dokter tapi tidak ada yang menemani Nina. Akhirnya, aku menghubungi salah seorang saudarinya untuk menemani. Setelah aku dan dokter tiba, Nina sudah tidak bernafas dan bergerak lagi. Pertahananku runtuh dan hancurlah harapanku melihat Nina tidak lagi berdaya.... Dokter menyuruhku keluar. Pada saat itu kukira Nina telah tiada, makanya aku segera menulis SMS kepada saudari Nina untuk memberitahu bahwa Nina telah tiada. Namun begitu dokter keluar, masya Alloh !<br />
<br />
Denyut jantung Nina kembali beredetak dan ia dinyatakan koma. Aku hendak memberi kabar kepada saudari Nina tapi baterai HP-ku habis dan tiba-tiba penyakitku pun kambuh lagi sehingga aku harus diinfus juga.....<br />
<br />
Jam 11.30, perasaanku mengatakan Nina memangilku, maka aku segera bangkit dari tempat tidur dan melepas infus dari tanganku menuju kamar Nina. Kutatap wajah Nina bersamaan dengan kumandang adzan shalat Jum’at. Sembari menjawab adzan, aku terus menatap wajah Nina berharap dia akan membuka matanya.<br />
<br />
Begitu lafadz laa ilaaha illallah, suara mesin pendeteksi jantung berbunyi, menandakan bahwa Nina telah tiada. Aku berteriak memanggil dokter, tapi qadarulloh istriku sayang telah pergi untuk selama-lamanya dari dunia ini. Nina langsung dimandikan dan dishalatkan selepas shalat Jum’at, lalu diterbangkan ke rumah papanya di Malaysia. Untuk terakhir kalinya kubuka kain putih yang menutupi wajah Nina. Wajahnya terlihat berseri.....<br />
<br />
Aku harus merelakan semua ini, aku harus kuat dan menerima takdir-Nya. Teringat kata-kata Nina, “Berdoalah jika memang Alloh memangilku lebih awal dengan doa, “Ya Alloh, berilah kesabaran dan pahala dari musibah yang menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik.” Setelah pemakaman, aku langsung balik ke Jakarta karena kondisiku yang kurang stabil...Astaghfirullah !!! aku lupa memberitahu saudari-saudari Nina. Mungkin karena aku terlalu larut dalam kesedihan, hingga secara spontanitas aku menghubungi mereka dan menyampaikan bahwa Nina benar-benar talah tiada. Aku tahu pasti, mereka pasti sedih dengan kepergian saudari mereka yang mereka cintai karena Alloh. Dari ketiga saudari Nina, ada seorang yang tidak percaya dan sepertinya dia sangat membenciku. Entah, mengapa sikapnya seperti itu ?<br />
<br />
Sekiranya mereka tahu, bahwa sebelum kepergiannya, Nina selalu memanggil nama mereka, tentulah mereka semakin sedih. Dalam HP Nina terlihat banyak SMS yang menunjukkan betapa indahnya ukhuwah dengan saudari-saudarinya. Semoga saudari-saudari Nina memaafkan kesalahannya dan kesalahan diriku pribadi.<br />
<br />
“Salam sayang dari Nina tu kakak Rini, Sakinah, dan Aisyah serta akhwat di Makassar. Teruslah berjuang menegakkan dakwah ilallah. Syukran atas perhatian kalian....”<br />
<br />
*****<br />
<br />
Tak beberapa lama setelah kisah ini dimuat di Media Muslim Muda Elfata, redaksi Elfata menerima SMS dari seorang ukhti, saudari Nina. Isi SMS tersebut adalah, “Afwan , mungkin perlu Elfata sampaikan kepada pembaca mengenai kisah ‘Akhirnya Cintaku Berlabuh karena Alloh’ di mana Kak Nina telah meninggal dan kini Kak Adhit pun telah tiada. Kurang lebih 2 pekan (Kak Adhit –red) dirawat di rumah sakit karena penyakit pada paru-parunya. Sebelum sempat dioperasi, maut telah menjemputnya. Ana menyampaikan hal ini karena masih banyak yang mengirim salam, memberi dukungan ke Kak Adhit yang kubaca di Elfata dan beberapa orang yang kutemui di jalan juga selalu bertanya, Kak Adhit bagaimana ? Ana salah satu ukhti dalam cerita tersebut...Syukran.”<br />
<br />
PERCIK RENUNGAN<br />
<br />
Subhanalloh ! Kisah Adhit dan Nina di atas dapat kita jadikan sebuah cermin untuk berkaca. Renungkanlah keteguhan Nina untuk tak meladeni tawaran cinta asmara yang tak terselimuti indahnya syariat. Padahal Nina adalah seorang yang sedang membutuhkan dukungan, pertolongan, dan sandaran bahu tempat menangis. Nina berprinsip, meski dalam situasi sesulit apapun, kemurnian syariat tetap harus dijaga dan diamalkan.<br />
<br />
Gelombang kesulitan tak harus menjadikan kita surut dalam berkonsisten dengan syariat ini. Bahkan bisa jadi kesulitan demi kesulitan yang kita alami menjadi parameter seberapa jauh kita telah mengamalkan ajaran agama ini. Di lain sisi, ketidaktahuan seseorang akan syariat ini seringkali menjadikan pelakunya bertindak tanpa adanya rambu-rambu yang telah dicanangkan agama.<br />
<br />
Namun, bisa jadi ketidaktahuan akan syariat ini menjadi titik awal seseorang merasakan indahnya agama dan manisnya iman sebagaimana yang terjadi pada Adhit, ikhwan yang menceritakan kisahnya ini. Semoga Alloh merahmati mereka, menerima ruh mereka berdua dan<br />
menjadikan mereka berdua termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih yang dijanjikan surga-Nya. Amiin.<br />
<br />
Sumber:<br />
Kumpulan KISAH NYATA UNGGULAN Majalah ELFATA ‘Seindah Cinta ketika Berlabuh’, 2008, FAtaMeDiaUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-44860843775615597082010-06-15T22:14:00.000-07:002010-06-15T22:14:34.615-07:00Akhirnya Cintaku Berlabuh karena Allah [part two]<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-_5r7pDCPif1B8oyJKGYZJv8P6NXOqB2W4bZ5oGUdq5Lr-RWypq0F-NIP0e16ElJaYu04cWLqdDQ9RD6N8HybEOZ1MfTaaEjh_-wmID1rsvp5yhnB3BtJLr5tFNRgkWumil4iJ_3JfO8/s1600/DSCN9970-1.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-_5r7pDCPif1B8oyJKGYZJv8P6NXOqB2W4bZ5oGUdq5Lr-RWypq0F-NIP0e16ElJaYu04cWLqdDQ9RD6N8HybEOZ1MfTaaEjh_-wmID1rsvp5yhnB3BtJLr5tFNRgkWumil4iJ_3JfO8/s320/DSCN9970-1.JPG" /></a></div><div style="text-align: justify;">.24 Oktober 2006, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, aku dan orang tuaku bersilaturahmi ke rumah keluarga Nina dengan maksud untuk membicarakan perjodohan antara aku dan Nina. Tapi pada saat itu Nina baru dirawat di rumah sakit sejak bulan Ramadhan. Saat kutemui, Nina terlihat sangat pucat, lemah, dan senyumannya seakan menghilang dari bibirnya. Hari itu orang tua kami resmi menjodohkan kami. Bahkan aku diminta untuk menjaganya karena orang tuanya akan berangkat ke luar negeri. Tetapi Nina tidak pernah mau meladeniku.</div><a name='more'></a><br />
<br />
..Suatu hari aku mendapati Nina terlihat kesakitan, terlihat darah keluar dari hidung dan mulutnya. Aku bermaksud untuk membantu mengusap darah dan keringat yang ada di wajahnya, tetapi secara spontan dia menamparku pada saat aku menyentuh wajahnya. Betapa<br />
kaget diriku dibuatnya, aku tidak menyangka sama sekali Nina akan manamparku. Sungguh betapa istiqomahnya dia dalam menjaga kehormatan untuk tidak disentuh laki-laki yang bukan muhrimnya. Saat itu aku belum mengetahui tentang masalah ini dalam agama.<br />
<br />
Kejadian tersebut secara tak sengaja terlihat mama Nina maka Nina pun dimarahi habis-habisan hingga sebuah tamparan mendarat di pipinya. Kulihat Nina segera melepas infusnya dan berlari menuju kamar mandi. Nina pun mengurung diri di kamar mandi tersebut. Dengan terpaksa kami mendobrak pintu kamar mandi dan kami dapati Nina tergeletak di lantai tak sadarkan diri karena terlalu banyak darah yang keluar.<br />
<br />
Setelah sadar, aku berusaha bicara dan meminta maaf kepadanya atas kejadian tadi, namun Nina terus-terusan menangis. Aku pun bertambah bingung apa yang mesti aku lakukan untuk menenangkannya. Tanpa pikir panjang aku memeluknya, tapi Nina malah mendorongku dengan keras dan berlari keluar dari kamar menuju taman. Ketika kudekati Nina berteriak hingga menjadikan orang-orang memukulku karena menyangka aku mengganggu Nina. Karena itulah, Nina semalaman tidur di taman dan aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Setelah waktu subuh menjelang kulihat Nina beranjak untuk melaksanakan shalat shubuh di masjid, aku pun turut shalat. Namun setelah shalat, tiba-tiba Nina menghilang entah kemana.<br />
<br />
Aku mencarinya berkeliling rumah sakit tersebut. Dan lama berselang kulihat banyak kerumunan orang dan ternyata Nina sudah tak sadarkan diri tergeletak dengan HP berada di sampingnya, sepertinya dia bosan telah berbicara dengan seseorang. Keadaan Nina saat itu sangat kritis sehingga pernafasannya harus dibantu dengan oksigen. Kata dokter, paru-paru Nina basah yang mungkin diakibatkan semalaman tidur di taman.<br />
<br />
Nina tak kunjung juga sadar. Dengan perasaan khawatir dan bingung aku berdoa dengan menatap wajahnya yang pucat pasi...<br />
<br />
Tiba-tiba ada sebuah SMS yang masuk ke HP Nina, tanpa sadar aku pun membaca dan membalas SMS tersebut. Akku juga membuka beberapa SMS yang masuk ke HP-nya dan aku sangat terharu dengan isinya, tenyata banyak sekali orang yang menyayanginya. Di antaranya adalah orang yang bernama Ukhti. Dulu sebelum aku mengetahui Ukhti adalah panggilan untuk saudari perempuan, aku sempat cemburu dibuatnya. Aku mengira Ukhti itu adalah pacar Nina yang menjadi alasan dia menolakku. Setelah Nina tersadar dari pingsannya, aku menunjukkan SMS yang dikirimkan saudari-saudarinya dan dia sangat marah ketika tahu aku sudah membaca dan membalas SMS dari saudari-saudarinya. Dia pun akhirnya melarangku untuk memegang HP-nya apalagi mengangkat atau menghubungi saudari-saudarinya.<br />
<br />
Namun, tetap saja aku sering ber-SMS-an dengan saudari-saudarinya untuk mengetahui kenapa sikap Nina begini dan begitu. Dari sinilah aku mendapat sebuah jawaban bahwa Nina tidak mau bersentuhan apalagi berduaan denganku karena aku bukan mahramnya dan Nina menolak untuk berpacaran serta bertunangan denganku karena di dalam Islam tidak ada hal-hal sepeti itu dan hal itu merupakan kebiasaan orang-orang non Muslim.<br />
<br />
Aku tahu juga Nina mencari seorang ikhwan yang mencintai karena Alloh bukan ats dasar hawa nafsu. Akhirnya aku tahu kan sikap Nina selama ini semata-mata dia hanya ingin menjalankan syariat Islam secara benar. Hari berlalu dan aku terus belajar sedikit demi sedikit tentang Islam dari Nina dan saudari-saudarinya, terutama dalam melaksanakan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Saat itu aku merasakan ketenangan dan ketentraman selama menjalankannya dan menimbulkan perasaan rindu kepada Alloh untuk senantiasa beribadah kepada-Nya.<br />
<br />
Niatku pun muncul untuk segera menikahi Nina agar tidak terjadi fitnah, namun kondisi Nina semakin memburuk. Dia selalu mengigau memanggil saudari-saudarinya yang dicintainya karena Alloh.....<br />
<br />
Melihat hal itu, aku membawanya ke kota Makassar, kampung mama kandung Nina untuk mempertemukannya dengan saudari-saudarinya, Qadarulloh (atas kehendak Alloh), aku tidak berhasil mempertemukan mereka. Yang ada kondisi Nina semakin parah dan penyakitku juga tiba-tiba kambuh sehingga aku pun haus dirawat di rumah sakit. Orang tua Nina datang dan membawanya kembali ke kota Makassar tanpa sepengetahuanku karena pada saat itu aku juga diopname.<br />
<br />
Di kota Makassar, Nina diawasi dengan ketat oleh papanya, karena papa Nina kurang suka dengan akhwat, apalagi yang bercadar. Rumah sakit dan rumah yang ditempati Nina dirahasiakan. Dan Nina pun tak tahu di manakah ia berada. Karena kondisinya masih lemah, diapun tak bisa berbuat apa-apa, bahkan ia kadang dibius, apalagi ketika akan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yag satunya agar tidak tahu di mana keberadaaannya, karena papanya tidak ingin ada akhwatyang menjenguk Nina. Sampai HPnya pun diambil dari Nina.<br />
<br />
Namun, karena Nina masih mempuny HP yang ia sembunyan dari papanya, sehingga beberapa kali Nina berusaha kabur untuk menemui saudari-saudarinya, akhirnya Nina dikurung di dalam kamar. Mendengar hal itu, aku langsung menyusul Nina ke Makassar dan aku sempat bicara dengannya dari balik pintu. Nina menyuruhku untuk menemui seorang ustadz di sebuah masjid di kota itu. Dari pertemuanku dengan ustadz tersebut aku pun diajak ta’lim beberapa hari dan aku menginap di sana.<br />
<br />
Papa Nina menyangka Nina telah mengusirku sehingga ia pun dimarahi. Setibanya di rumah, aku jelaskan duduk perkaranya kepada papa Nina, bahwa ia tidak bersalah dan aku mengatakan agar pernikahan kami dipercepat.<br />
<br />
Hari Kamis, 24 November 2006. Kami melangsungkan pernikahan dengan sagat sederhana. Acara tersebut Cuma dihadiri oleh orangtua kami beserta dua orang rekanan papa. Setelah akad nikah aku langsung mengantar ustadz sekalian shalat dhuhur. Betapa senangnya hatiku, akkhirnya aku bisa merasakan cinta yang tulus karena Alloh. Semoga kami bisa membentuk keluarga sakinah mawaddah, wa rahmah dan senantiasa dalam ketaatan kepada Alloh.....Itulah doaku saat itu.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-58108082746164602922010-06-15T22:11:00.000-07:002010-06-15T22:11:52.977-07:00Akhirnya Cintaku Berlabuh karena Allah [part one]<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhN7Vw41VpV7BzWpAGSjepajFaLpNL9S1o0laFm6Y7VLu_UnvTJ6R2tPA-23Y60nVqMjT-3nVHzuRnDTy9o6Fq9wBl7wlp-CKcuz9U7QWhi4VfoxvAeStjJQ_oQfn5YHGLfHnUEpYXNtT0/s1600/birrruuu.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhN7Vw41VpV7BzWpAGSjepajFaLpNL9S1o0laFm6Y7VLu_UnvTJ6R2tPA-23Y60nVqMjT-3nVHzuRnDTy9o6Fq9wBl7wlp-CKcuz9U7QWhi4VfoxvAeStjJQ_oQfn5YHGLfHnUEpYXNtT0/s320/birrruuu.jpg" /></a></div><div style="text-align: justify;">Awalnya, aku bertemu dengannya di sebuah acara yang diselenggarakan di rumahku sendiri. Gadis itu sangat berbeda dengan cewek-cewek lain yang sibuk berbicara dengan laki-laki dan berpasang-pasangan. Sedangkan dia dengan pakaian muslimah rapi yang dikenakannya membantu mamaku menyiapkan hidangan dan segala kebutuhan dalam acara tersebut. Sesekali gadis itu bermain di taman bersama anak-anak kecil yang lucu, kulihat betapa lembutnya dia dengan senyuman manis kepada anak-anak. Dari sikapnya itu aku tertarik untuk mengenalnya. Akhirnya dengan pede-nya keberanikan diri untuk mendekatinya dan hendak berkenalan dengannya. Namun, kenyataannya dia menolak bersalaman dengannku, dan cuma mengatakan, “Maaf...” dan berlalu begitu saja meninggalkanku.</div><a name='more'></a><br />
<br />
Betapa malunya aku terhadap teman-teman yang berada di sekitarku.“Ini cewek kok jual mahal banget !” Padahal begitu banyak cewek yang justru berlomba-lomba mau jadi pacarku. Dia, mau kenalan saja tidak mau !” ujarku. Dari kejadian itu aku menjadi penasaran dengan gadis tersebut. Lalu aku mencari tahu tentangnya. Ternyata dia adalah anak tunggal sahabat rekan bisnis papa. Setiap ada acara pertemuan di rumah gadis itu, aku selalu ikut bersama papa.<br />
Gadis itu bernama Nina, kuliah di Fakultas Kedokteran dan dia anak yang tidak suka berpesta, berfoya-foya, dan keluyuran seperti cewek kebanyakan di kalangan kami. Aku pun jarang melihatnya jika aku pergi ke rumahnya; dengan berbagai alasan yang kudengar dari pembantunya: sakitlah, lagi mengerjakan tugas, atau kecapaian. Pokoknya, dia tidak pernah mau keluar.<br />
<br />
Hingga suatu hari aku dan papa sedang bertamu ke rumahnya. Pada saat itu, Nina baru saja pulang dengan busana muslimahnya yang rapi, terlihat turun dari mobil. Namun belum jauh melangkah dia pun terjatuh pingsan dan mukanya terlihat sangat pucat. Kami yang berada di ruang tamu bergegas keluar dan papanya pun menggendong ke kamar serta meminta tolong kami untuk menghubungi dokter. Dari hasil pemeriksaan dokter, Nina harus dirawat di rumah sakit.<br />
<br />
Keesokan harinya, aku datang ke rumah sakit bermaksud untuk menjenguknya. Betapa kagetnya aku ketika kutahu Nina terkena leukimia (kanker darah). Aku bertanya, “Kenapa gadis selembut dan sesopan dia harus mengalami hal itu ?”. Perasaan kesalku padanya kini berubah menjadi kasihan dan khawatir. Setiap usai kuliah, kusempatkan untuk datang menjenguknya. Aku mendapatinya sering menangis sendirian. Entah itu karena tidak ada yang menjaganya atau karena penyakit yang diderita.<br />
<br />
Beberapa hari di rumah sakit, Nina memintaku keluar setiap kali aku masuk. Aku pun mendatanginya di rumah, tapi dia tidak pernah mau keluar menemuiku dan hanya mengurung diri di dalam kamar. Aku tidak menyerah begitu saja, kucoba menelpon Nina dan berharap dia mau bicara denganku. Namun, dia tetap tidak mau mengangkat telpon dariku, lalu kukirimkan SMS padanya agar dia mau menjadi pacarku, tetapi tidak ada balasan malah HP-nya dinonaktifkan semalaman.<br />
<br />
Keesokan harinya aku nekat datang ke rumahnya untuk meminta maaf atas kelancanganku. Ternyata ia akan berangkat ke Makasar, ke kampung orang tuanya. Karena orang tuanya tak dapat mengantarnya, aku pun menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi Nina lebih memilih naik taksi dengan alasan tidak mau merepotkan orang lain. Sebelum naik ke mobil, dia menitipkan kertas untukku kepada mamanya.<br />
<br />
Alangkah hancur hatiku ketika membaca sebait kalimat yang berbunyi, “Maaf saat ini aku hanya ingin berkonsentrasi kuliah.” Hatiku remuk dan aku pulang dengan perasaan kesal sekali. Ini pertama kalinya aku ingin pacaran, tapi ditolak. Sebenarnya, aku tidak begitu suka dengan hubungan seperti pacaran itu karena begitu banyak dampak negatifnya, sampai ada yang rela bunuh diri karena ditinggalkan kekasihnya –na’udzubillahi min dzalik.<br />
<br />
Namun entah mengapa ketika aku melihat Nina hatiku pun tergoda untuk menjalin hubungan itu. Sejak perpisahan itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya sampai gelar sarjana aku raih. Lalu aku pun bekerja di perusahaan milik keluargaku sebagai satu-satunya ahli waris. Melihat ketekunanku dalam bekerja, papa Nina ,menyukaiku hingga hubungan kami menjadi akrab dan kuutarakanlah maksudku bahwa aku menyukai Nina, anaknya, dan ternyata papa Nina setuju untuk menjadikanku sebagai menantunya.<br />
<br />
24 Oktober 2006, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, aku dan orang tuaku bersilaturahmi ke rumah keluarga Nina dengan maksud untuk membicarakan perjodohan antara aku dan Nina. Tapi pada saat itu Nina baru dirawat di rumah sakit sejak bulan Ramadhan. Saat kutemui, Nina terlihat sangat pucat, lemah, dan senyumannya seakan menghilang dari bibirnya. Hari itu orang tua kami resmi menjodohkan kami. Bahkan aku diminta untuk menjaganya karena orang tuanya akan berangkat ke luar negeri. Tetapi Nina tidak pernah mau meladeniku.<br />
<div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">sumber: <a href="http://www.facebook.com/?ref=home#%21/group.php?gid=113648041888">Forum al-Kautsar as-Sunnah</a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-11348735175831181392010-05-28T23:57:00.000-07:002010-05-28T23:57:26.948-07:00Kisah Menjadi Kaya karena Menikah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDBmBuTXMJ19r6GSuGnhPsOG0DESyN4FSjY50e16WDZb33GU3JNWC0fE_rZQh3Xy_ebkDhDwdXNiWZCxvGtJ2rgIapQMpd9VjnO_BQqyqFyIb3KHcWAfgNVQno4Z1lC2tWldjWcZ_F9j0/s1600/52.gif" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDBmBuTXMJ19r6GSuGnhPsOG0DESyN4FSjY50e16WDZb33GU3JNWC0fE_rZQh3Xy_ebkDhDwdXNiWZCxvGtJ2rgIapQMpd9VjnO_BQqyqFyIb3KHcWAfgNVQno4Z1lC2tWldjWcZ_F9j0/s320/52.gif" /></a></div>Pada hari-hari pertama pernikahan kami, suami bertanya, “Ke mana saja uangmu selama ini?” Pertanyaan itu sungguh menggedor dadaku. Ya, ke mana saja uangku selama ini? Buku tabunganku tak pernah berisi angka belasan hingga puluhan juta. Selalu hanya satu digit. Itu pun biasanya selalu habis lagi untuk kepentingan yang agak besar seperti untuk bayar kuliah (ketika aku kuliah) dan untuk kepentingan keluarga besarku di kampung. Padahal, kalau dihitung-hitung, gajiku tidaklah terlalu kecil-kecil amat. Belum lagi pendapatan lain-lain yang kudapat sebagai penulis, instruktur pelatihan menulis, pembicara di berbagai acara, guru privat, honor anggota tim audit ataupun tim studi. Lalu, ke mana saja uangku selama ini? Kepada suamiku, waktu itu aku membeberkan bahwa biaya operasional untuk keaktifanku cukup besar. Ongkos jalan, pulsa telepon, nombok biaya kegiatan, makan dan traktiran. Intinya, aku mencari apologi atas aliran uangku yang tidak jelas.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Namun diam-diam aku malu padanya. Sesaat sebelum pernikahan kami, dia berkata, “Gajiku jauh di bawah gajimu...”. Kata-kata suamiku -ketika masih calon- itu membuatku terperangah. “Yang benar saja?” sambutku heran. Dengan panjang kali lebar kemudian dia menjelaskan kondisi perusahaan plat merah tempatnya bekerja serta bagaimana tingkat numerasinya. Yang membuatku lebih malu lagi adalah karena dengan gajinya yang kecil itu, setelah empat tahun hidup di Jakarta, ia telah mampu membeli sebuah sepeda motor baru dan sebuah rumah –walaupun bertipe RSS- di dalam kota Jakarta. Padahal, ia tidak memiliki sumber penghasilan lain, dan dikantornya dikenal sebagai seorang yang bersih, bahkan “tak kenal kompromi untuk urusan uang tak jelas.” Fakta bahwa gajinya kecil membuatku tahu bahwa suamiku adalah seorang yang hemat dan pandai mengatur penghasilan. Sedang aku?<br />
<br />
***<br />
<br />
Hari-hari pertama kami pindahan.<br />
Aku menata baju-baju kami di lemari. “Mana lagi baju, Mas?” tanyaku pada suami yang tengah berbenah. “Udah, itu aja!” Aku mengernyit. “Itu aja? Katanya kemarin baju Mas banyak?” tanyaku lebih lanjut. “Iya, banyak kan?” tegasnya lagi tanpa menoleh. Aku kemudian menghitung dengan suara keras. Tiga kemeja lengan pendek, satu baju koko, satu celana panjang baru, tiga pasang baju seragam. Itu untuk baju yang dipakai keluar rumah. Sedang untuk baju rumah, tiga potong kaos oblong dengan gambar sablon sebuah pesantren, dua celana pendek sedengkul dan tiga pasang pakaian dalam. Ketika kuletakkan dalam lemari, semua itu tak sampai memenuhi satu sisi pintu sebuah lemari. Namun dua lemari besar itu penuh. Itu artinya pakaianku lebih dari tiga kali lipat lebih banyak dibanding jumlah baju suamiku. Kata orang, kaum wanita biasanya memang memiliki baju lebih banyak dibanding kaum laki-laki. Tapi isi lemari baju itu memberikan jawaban atas banyak hal padaku. Terutama, pertanyaannya di hari-hari pertama pernikahan kami tentang ke mana saja uangku. Isi lemari itu memberi petunjuk bahwa selain untuk keluarga dan organisasi, ternyata aku menghabiskan cukup banyak uang untuk belanja pakaian. Oo!<br />
<br />
Pekan-pekan pertama aku hidup bersamanya.<br />
Aku mencoba mencatat semua pengeluaran kami. Dan aku sudah mulai memasak untuk makan sehari-hari. Cukup pusing memang. Apalagi jika melihat harga-harga yang terus melonjak. Tapi coba lihat...! Untuk makan seminggu, pengeluaran belanjaku tak pernah lebih dari seratus ribu. Padahal menu makanan kami tidaklah terlalu sederhana: dalam seminggu selalu terselip ikan, daging atau ayam meski tidak tiap hari. Buah–makanan -kesukaanku- dan susu –minuman favorit suamiku- selalu tersedia di kulkas. Itu artinya, dalam sebulan kami berdua hanya menghabiskan kurang dari lima ratus ribu untuk makan dan belanja bulanan. Aku jadi berhitung, berapa besar uang yang kuhabiskan untuk makan ketika melajang? Aku tak ingat, karena dulu aku tak pernah mencatat pengeluaranku dan aku tidak memasak. Tapi yang pasti, makan siang dan malamku rata-rata seharga sepuluh hingga belasan ribu. Belum lagi jika aku jalan-jalan atau makan di luar bersama teman. Bisa dipastikan puluhan ribu melayang. Itu artinya, dulu aku menghabiskan lebih dari 500ribu sebulan hanya untuk makan? Ups!<br />
<br />
Baru sebulan menikah.<br />
“De, kulihat pembelian pulsamu cukup banyak? Bisa lebih diatur lagi?”<br />
“Mas, untuk pulsa, sepertinya aku tidak bisa menekan. Karena itu adalah saranaku mengerjakan amanah di organisasi.” Si mas pun mengangguk. Tapi ternyata, kuhitung dalam sebulan ini, pengeluaran pulsaku hanya 300 ribu, itu pun sudah termasuk pulsa untuk hp si Mas, lumayan berkurang dibanding dulu yang nyaris selalu di atas 500 ribu rupiah.<br />
<br />
Masih bulan awal perkawinan kami.<br />
Seminggu pertama, aku diantar jemput untuk berangkat ke kantor. Tapi berikutnya, untuk berangkat aku nebeng motor suamiku hingga ke jalan raya dan meneruskan perjalanan dengan angkutan umum sekali jalan. Dua ribu rupiah saja. Pulangnya, aku naik angkutan umum. Dua kali, masing-masing dua ribu rupiah. Sebelum menikah, tempat tinggalku hanya berjarak tiga kiloan dari kantor. Bisa ditempuh dengan sekali naik angkot plus jalan kaki lima belas menit. Ongkosnya dua ribu rupiah saja sekali jalan. Tapi dulu aku malas jalan kaki. Kuingat-ingat, karena waktu mepet, aku sering naik bajaj. Sekali naik enam ribu rupiah. Kadang-kadang aku naik dua kali angkot, tujuh ribu rupiah pulang pergi. Hei, besar juga ya ternyata ongkos jalanku dulu? Belum lagi jika hari Sabtu Ahad. Kegiatanku yang banyak membuat pengeluaran ongkos dan makan Sabtu Ahadku berlipat.<br />
<br />
Belum lagi tiga bulan menikah.<br />
“Ke ITC, yuk, Mas?” Kataku suatu hari. Sejak menikah, rasanya aku belum lagi menginjak ITC, mall, dan sejenisnya. Paling pasar tradisional. “Oke, tapi buat daftar belanja, ya?” kata Masku. Aku mengangguk. Di ITC, aku melihat ke sana ke mari. Dan tiap kali melihat yang menarik, aku berhenti. Tapi si Mas selalu langsung menarik tanganku dan berkata,”Kita selesaikan yang ada dalam daftar dulu?” Aku mengangguk malu. Dan aku kembali teringat, dulu nyaris setiap ada kesempatan atau pas lewat, aku mampir ke ITC, mall dan sejenisnya. Sekalipun tanpa rencana, pasti ada sesuatu yang kubeli. Berapa ya dulu kuhabiskan untuk belanja tak terduga itu?<br />
<br />
Masih tiga bulan pernikahan “Kita beli oleh-oleh sebentar ya, untuk Bude?” Masku meminggirkan motor. Kios-kios buah berjejer di pinggir jalan. Kami dalam perjalanan silaturahmi ke rumah salah satu kerabat. Dan membawakan oleh-oleh adalah bagian dari tradisi itu.<br />
“Sekalian, Mas. Ambil uang ke ATM itu...” Aku ingat, tadi pagi seorang tetangga ke rumah untuk meminjam uang. Ini adalah kesekian kali, ada tetangga meminjam kepada kami dengan berbagai alasan. Dan selama masih ada si Mas selalu mengizinkanku untuk memberi pinzaman(meski tidak langsung saat itu juga). Semua itu membuatku tahu, meskipun hemat, si Mas tidaklah pelit. Bersikaplah pertengahan, begitu katanya. Jangan menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas, tapi jangan lantas menjadi pelit!<br />
<br />
***<br />
<br />
Semester pertama pernikahan.<br />
Mengkilat. Elegan. Kokoh. Masih baru. Gress. Begitu sedap dipandang mata. Benda itu, sudah sekian lama kuinginkan. Sebuah laptop baru kelas menengah (meski masih termasuk kategori low end). Namun selama ini, setiap kali melihatnya di pameran atau di toko-toko komputer, aku hanya bisa memandanginya dan bermimpi. Tak pernah berani merencanakan, mengingat duitku yang tak pernah cukup. Tapi rasanya, dalam waktu dekat benda di etalase itu akan kumiliki. Rasanya sungguh indah, memiliki sebuah benda berharga yang kubeli dengan uangku sendiri, uang yang kukumpulkan dari gajiku.<br />
<br />
Sejak menikah, aku tak pernah lagi membeli baju untuk diriku sendiri. Pakaian dan jilbabku masih dapat di-rolling untuk sebulan. Sejak menikah, aku memilih membawa makan siang dari rumah ke kantor. Aku juga jarang ke mall lagi. Dan kini, setiap kali akan membeli sesuatu, aku selalu bertanya: perlukah aku membeli barang itu? Indahnya, aku menikmati semua itu. Dan kini, aku bisa menggunakan tabunganku untuk sesuatu yang lebih berharga dan tentu saja bermanfaat bagi aktifitasku saat ini, lingkunganku dan masa depanku nanti.<br />
<br />
Aku bersyukur kepada Allah. Semua ini, bisa dikatakan sebagai berkah pernikahan. Bukan berkah yang datang tiba-tiba begitu saja dari langit. Tapi berkah yang dikaruniakan Allah melalui pelajaran berhemat yang dicontohkan oleh suamiku. Rabb, terima kasih atas berkahMu...<br />
<br />
sumber: <span class="Apple-style-span" style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px;"><a href="http://www.facebook.com/?ref=home#!/notes/yusuf-mansur-network/kisah-menjadi-kaya-karena-menikah/430296260209">Catatan Yusuf Mansur Network</a></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-17459248530040373502010-05-20T19:11:00.000-07:002010-05-20T19:15:43.375-07:00Tak Pernah Meninggalkan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjX0UCogOvOn5nPTpG9-A5NgGSVFUBpdblNE-idZE7M70n5hm9Kf23N5VZhyiIilWMRJ4Fk2QOOFKDLbx7vFIC3rIlbsi4viAwqVYVjUf7KAnANyVICGZlp6JHqvamEe0-gY-Qk14PQRXQ/s1600/12.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjX0UCogOvOn5nPTpG9-A5NgGSVFUBpdblNE-idZE7M70n5hm9Kf23N5VZhyiIilWMRJ4Fk2QOOFKDLbx7vFIC3rIlbsi4viAwqVYVjUf7KAnANyVICGZlp6JHqvamEe0-gY-Qk14PQRXQ/s320/12.jpg" /></a></div>Namaku Linda dan aku memiliki sebuah kisah cinta yang memberikanku sebuah pengajaran tentangnya. Ini bukanlah sebuah kisah cinta hebat dan mengagumkan seperti dalam novel-novel romantis, tetapi tetap bagiku ia adalah kisah yang jauh lebih mengagumkan dari semua novela tersebut.<br />
<br />
Ini adalah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi dan ibuku, Yasmine Ghauri. Mereka bertemu di sebuah majlis resepsi pernikahan dan kata ayahku dia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika ibuku masuk ke dalam ruangan. Saat itu dia tahu, inilah wanita yang akan dikahwininya. Ia <br />
<a name='more'></a>menjadi kenyataan dan mereka telah bernikah selama 40 tahun dengan tiga orang anak. Aku anak sulung, telah berkahwin dan memberikan mereka dua orang cucu. Ibu bapaku hidup bahagia dan selama bertahun-tahun telah menjadi ibu bapa yang sangat baik bagi kami, membimbing kami dengan penuh cinta kasih dan kebijaksanaan.<br />
<br />
Aku teringat suatu hari ketika aku masih berusia belasan tahun. Beberapa jiran kami mengajak ibuku pergi ke pembukaan pasaraya yang menjual alat-alat keperluan rumah tangga. Mereka mengatakan hari pembukaan adalah waktu terbaik untuk berbelanja barang keperluan kerana barang sangat murah dengan kualiti yang berpatutan.<br />
<br />
Tapi ibuku menolaknya kerana ayahku sebentar lagi akan pulang dari kerja. Kata ibuku,”Ibu tak akan pernah meninggalkan ayahmu sendirian”.<br />
Perkara itu yang selalu ditegaskan oleh ibuku kepadaku. Apapun yang terjadi, sebagai seorang wanita, aku wajib bersikap baik terhadap suamiku dan selalu menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin, kaya, sihat mahupun sakit. Seorang wanita harus menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu. Menurut mereka, itu hanyalah lafaz janji pernikahan, omongan kosong belaka. Tapi aku tetap mempercayai nasihat ibuku.<br />
<br />
Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kami sekeluarga mengalami berita duka. Setelah ulang tahun ibuku yang ke-59, ibuku terjatuh di kamar mandi dan menjadi lumpuh. Doktor mengatakan kalau saraf tulang belakang ibuku tidak berfungsi lagi, dia harus menghabiskan sisa hidupnya di pembaringan.<br />
<br />
Ayahku, seorang lelaki yang masih sihat di usia tuanya. Tetapi dia tetap setia merawat ibuku, menyuapinya, bercerita segala hal dan membisikkan kata-kata cinta pada ibu. Ayahku tak pernah meninggalkannya. Selama bertahun-tahun, hampir setiap hari ayahku selalu menemaninya. Ayahku pernah mengilatkan kuku tangan ibuku, dan ketika ibuku bertanya ,”Untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua dan hodoh sekali”.<br />
Ayahku menjawab, “Aku ingin kau tetap merasa cantik”.<br />
Begitulah pekerjaan ayahku sehari-hari, merawat ibuku dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.<br />
<br />
Suatu hari ibu berkata padaku sambil tersenyum,”Kau tahu, Linda. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku…kau tahu kenapa?”<br />
<br />
Aku menggeleng, dan ibuku berkata, “Kerana aku tak pernah meninggalkannya…”<br />
<br />
Itulah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi dan Ibuku, Yasmine Ghauri, mereka memberikan kami anak-anaknya pelajaran tentang tanggungjawab, kesetiaan, rasa hormat, saling menghargai, kebersamaan, dan cinta kasih. Bukan dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-26483681435621271752010-05-18T21:11:00.000-07:002010-05-20T19:17:27.211-07:00"Duhai Ukhti,.... Duhai Istri Sholehah,... Aku Ingin Sepertimu..."<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmPuajknEwD__awmWAQOPDeg5b2wfv6mKkawINIOxXen0GFRzoPNDwyWJM78wcqFceU4kYegd377uisjxgcsscMNZV5bqyoobXjunEApnFmOY9IpeJU73Bxld7U54Rvzt8zI-bklffcz4/s1600/345899xzcvsekosp.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmPuajknEwD__awmWAQOPDeg5b2wfv6mKkawINIOxXen0GFRzoPNDwyWJM78wcqFceU4kYegd377uisjxgcsscMNZV5bqyoobXjunEApnFmOY9IpeJU73Bxld7U54Rvzt8zI-bklffcz4/s320/345899xzcvsekosp.jpg" /></a></div>Taken From: http://www.facebook.com/topic.php?uid=117474713865&topic=13068#topic_top<br />
<br />
Kisah ini nyata adanya...<br />
Sengaja aku tulis agar kita semua khususnya aku pribadi dapat mengambil satu pelajaran yang sangat berharga. InsyaALLAH.<br />
<br />
<br />
----------------------------------------------------------<br />
----------------------------------------------------------<br />
<br />
“Klik”.... HP berdering 1 kali tanda ada sms masuk.. Waktu itu jam menunjukkan pukul 18.30 WIB.<br />
Segera kubuka, ternyata dari pujaan hati...<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
“Sudah tidur, say?” Tanya suamiku.<br />
“Belum, tapi Dedek sudah tidur”<br />
“Jadi meeting ta?? Kalau ndak jadi meeting, mau dibuatkan apa??” Biasanya, suami sms 30 menit sebelum nyampe rumah kalau ingin dibuatkan sesuatu...<br />
“Iya jadi, tp pengennya Asyam pulang dulu, nanti jam 8 berangkat lagi”<br />
“Kalau tidak merepotkan, tolong buatkan susu campur kopi sedikit, gulanya satu setengah sendok”<br />
“Ok” jawabku singkat.<br />
<br />
Segera kuletakkan HP, lalu aku langsung merapikan meja, dan segera ku hidangkan soto ayam yang tinggal sedikit beserta tahu dan tempe. Tak lupa ku dinginkan nasi di piring lengkap dengan kopi susu kesukaannya.<br />
<br />
20 menit kemudian, suara kendaraan terdengar berhenti di depan rumah. Segera kusambut dan suami langsung menuju meja makan menyeruput minuman yang sudah kusiapkan di meja...<br />
<br />
"Alhamdulillah..." gumamnya.<br />
<br />
“Asyam sholat Isya’ dulu ya...”<br />
<br />
Akupun menunggunya di meja makan...<br />
<br />
Setelah selesai sholat Isya’, suami langsung makan. Seperti biasa, sambil menceritakan aktivitas yang dilakukan selama di kantor hari itu...<br />
<br />
Dialog suami istri di meja makanpun berlangsung....<br />
<br />
“Aku tadi sore ketemu Yaqin temen kantor kita dulu”<br />
“Oh ya?? Trus???” tanyaku penasaran ingin mendengar cerita istrinya Yaqin ini.<br />
“Awalnya Asyam sama temen kantor mau kerumahnya, tapi dia ada acara ba’da Maghrib. Jadi, dia sempatkan mampir ke kantor untuk bertemu..”<br />
<br />
Memang Yaqin ini sangat aktif mengikuti kegiatan dari masjid satu ke masjid yang lain bersama teman-teman ikhwan yang lain. Bahkan dia juga pernah ke India dan Bangladesh.<br />
<br />
Semenjak Yaqin menikah dan kami juga menikah, suamiku jarang sekali ada waktu longgar untuk bertemu denan Yaqin. Via telepon saja bisa dihitung dengan jari. Yaqin sahabat suamiku, juga temenku waktu masih kerja di sebuah perusahaan di Surabaya.<br />
<br />
Cita-citanya terkabulkan untuk menikahi akhwat asli Temboro. Alasannya karena akhwat-akhwat di sana banyak yang hafal Al-Qur'an dan sejak kecil sudah mondok, bercadar pula. Menurut informasi dari teman, di Temboro juga wajib berbusana muslim bagi Muslimah yang akan memasuki kawasan tersebut. Juga merupakan markas Tabligh.<br />
<br />
Usia istri Yaqin masih sangat muda, sekitar 19 tahun. Sedangkan usia Yaqin waktu itu sekitar 23 tahun. Tetapi mereka sudah berkomitmen untuk menikah.<br />
<br />
Aku bertemu dengan istrinya mungkin 3 kali, di rumah Yaqin, juga pernah di jalan waktu belanja di Ampel... Istrinya cantik, putih, murah senyum dan tutur katanya halus. Tetapi kecantikannya tertutup cadar, sungguh anggun. Dia juga hafal Al-Qur'an di usia yang relatif sangat muda bagiku, Subhanallah...<br />
<br />
Di kantor itu, tepatnya di ruang nego, Yaqin menceritakan penyakit yang diderita istrinya selama mereka bersama. Itu artinya, ujian itu selama pernikahan mereka yaitu sekitar 2 tahun lebih...<br />
<br />
Sejak awal menikah, ketika memasuki bulan kedelapan di usia pernikahan mereka, istrinya sering muntah-muntah dan pusing silih berganti... Awalnya mereka mengira “morning sickness” karena waktu itu istrinya hamil muda.<br />
<br />
Akan tetapi, selama hamil bahkan setelah melahirkanpun istrinya masih sering pusing dan muntah-muntah. Ternyata itu akibat dari penyakit ginjal yang dideritanya.<br />
Tak terasa pernikahan mereka sudah memasuki tahun ketiga... Dan usia putri mereka sudah sekitar 18 bulan.<br />
<br />
<br />
Singkat cerita....<br />
<br />
Satu bulan terakhir ini, ternyata penyakit yang diderita istrinya semakin parah..<br />
Waktu bulan Ramadhan kemarin, suami pernah bertemu dengan Yaqin di sebuah Rumah Sakit terkenal di Surabaya. Waktu itu, suami menjenguk saudaraku di rumah sakit yang sama. Yaqin bilang, kalau istrinya harus menjalani rawat inap akibat sakit yang dideritanya. Dia juga menyampaikan bahwa kondisi istrinya semakin kurus, bahkan berat badannya hanya 27 KG. Karena harus cuci darah setiap 2 hari sekali dengan biaya jutaan rupiah untuk sekali cuci darah.<br />
<br />
Namun Yaqin tak peduli berapapun biayanya, yang terpenting istrinya bisa sembuh. Dokter juga menyarankan agar darah yang dipakai adalah darah yang sudah steril tapi memang harganya mahal. Akan tetapi, Yaqin hanya mampu untuk membeli darah yang biasa. Menurut informasi, darah yang biasa (tidak steril) itu masih bercampur dengan berbagai macam virus yang akan berakibat menular di tubuh pasien.<br />
<br />
Waktu suami menyampaikan berita ini, aku sempat tak percaya kalau penyakitnya sampai separah itu. Ya Allah… pikiranku mulai tak tenang. Ada kekhawatiran dalam hati kecilku kala itu. Namun segera ku tepis, dan segera mendoakan yang terbaik untuk istri dan keluarga Yaqin. Aku sempat mengingatkan suami untuk telepon atau menjenguknya di rumah Sakit, tapi waktu itu Yaqin tidak bisa dihubungi.<br />
<br />
Pertengahan bulan Ramadhan, mereka masih di rumah sakit. Karena, selain penyakit ginjal, istrinya juga mengidap kolesterol. Setelah kolesterolnya diobati, Alhamdulillah sembuh. Namun, penyakit lain muncul yaitu jantung. Diobati lagi, sembuh... Ternyata ada masalah dengan paru-parunya. Diobati lagi, Alhamdulillah sembuh.<br />
<br />
Istrinya sempat merasakan ada yang aneh dengan matanya.<br />
"Bi, ada apa dengan pandangan Ummi?? Ummi tidak dapat melihat dengan jelas."<br />
"Semua terlihat kabur."<br />
Dalam waktu yang hampir bersamaan, darah tinggi juga menghampiri dirinya... Subhanallah, sungguh dia sangat sabar walau banyak penyakit dideritanya...<br />
<br />
Selang beberapa hari, Alhamdulillah istri Yaqin sudah membaik dan diperbolehkan pulang. Sungguh kabar gembira, andaikan kami tahu akan hal itu. Tapi sayang, kami tidak mendengar kabar baik itu.<br />
Aahh, mungkin mereka terlalu gembira. Sampai-sampai lupa untuk memberi tahu kami.<br />
<br />
Memasuki akhir Ramadhan, tiba-tiba saja istrinya merasakan sakit yang luar biasa di bagian perutnya, sangat sakiiit. Sampai-sampai dia tidak kuat lagi untuk melangkah dan hanya tergeletak di paving depan rumahnya.<br />
<br />
"Bi, tolong antarkan Ummi ke rumah sakit ya.." pintanya sambil memegang perutnya...<br />
<br />
"Mi.. mi.. kok sakit terus sich Ummi ini". Spontan Yaqin melontarkan keluhannya. Yaqin mengeluh karena ada tugas kantor yang harus diserahkan esok harinya sesuai deadline. Akhirnya Yaqin mengalah. Tidak tega rasanya melihat penderitaan yang dialami istrinya selama ini.<br />
<br />
Sampai di rumah sakit, ternyata dokter mengharuskan untuk rawat inap lagi. Tanpa pikir panjang Yaqin langsung mengiyakan permintaan dokter.<br />
<br />
Keesokan harinya……….<br />
<br />
"Bi, Ummi ingin sekali baca Al-Qur'an, tapi penglihatan Ummi masih kabur. Ummi takut hafalan Ummi hilang."<br />
"Orang sakit itu berat penderitaannya Bi. Disamping menahan sakit, dia juga akan selalu digoda oleh syaitan. Syaitan akan berusaha sekuat tenaga agar orang yang sakit melupakan Allah. Makanya Ummi ingin sekali baca Al-Qur'an agar selalu ingat Allah.<br />
Subhanallah, dalam keadaan seperti itu dia masih ingin membaca Al-Qur'an untuk mengulang-ulang kembali hafalannya...<br />
<br />
Akhirnya Yaqin menginstal ayat-ayat Al-Qur'an ke dalam sebuah handphone. Dia terharu melihat istrinya senang dan bisa mengulang hafalannya lagi, bahkan sampai tertidur. Dan itu dilakukan setiap hari.<br />
<br />
Pagi harinya, istrinya terlihat sangat senang sekali...<br />
"Bi, tadi malam Ummi mimpi naik kuda. Ummi melihat dari kejauhan ada warna kuning keemasan. Setelah mendekat, ternyata itu jagung. Ummi makan jagung itu, dan Subhanallah rasanya enaaak sekali. Tak pernah Ummi rasakan jagung seenak itu"<br />
"Yaa, itu tandanya Ummi mau sembuh" kata Yaqin ragu...<br />
<br />
Hari selanjutnya, istrinya kembali tersenyum.<br />
"Bi, tadi malam Ummi mimpi lagi. Ummi duduk disebuah telaga, lalu ada yang memberi Ummi minum. Rasanya enaaak sekali, dan tak pernah Ummi rasakan minuman seenak itu. Sampai sekarangpun, nikmatnya minuman itu masih Ummi rasakan"<br />
"Itu tandanya Ummi akan segera sembuh." Yaqin menghibur dirinya sendiri, karena terus terang dia sangat takut kehilangan istri yang sangat dicintainya itu.<br />
<br />
Yaqin mencoba menghibur istrinya.<br />
"Mi... Ummi mau tak belikan baju baru ya?? Mau tak belikan dua atau tiga?? Buat dipakai lebaran."<br />
"Nggak usah, Bi. Ummi nggak ikut lebaran kok" jawabnya singkat.<br />
Yaqin mengira istrinya marah karena sudah hampir lebaran kok baru nawarin baju sekarang.<br />
"Mi, maaf. Bukannya Abi nggak mau belikan baju. Tapi Ummi tahu sendiri kan, dari kemarin-kemarin Abi sibuk merawat Ummi."<br />
"Ummi nggak marah kok, Bi. Cuma Ummi nggak ikut lebaran. Nggak apa-apa kok Bi."<br />
”Oh iya Mi, Abi beli obat untuk Ummi dulu ya…??”<br />
Yaqin baru sadar kalau obat istrinya hampir habis. Dia langsung menuju loket pembelian obat meninggalkan istrinya sendiri di kamar. Setelah cukup lama dalam antrian yang lumayan panjang, tiba-tiba dia ingin menjenguk istrinya yang terbaring sendirian. Langsung dia menuju ruangan istrinya tanpa menghiraukan obat yang sudah dibelinya.<br />
<br />
Tapi betapa terkejutnya dia. Banyak perawat dan dokter yang mengelilingi istrinya.<br />
"Ada apa dengan istriku??." tanyanya setengah membentak.<br />
"Ini pak, infusnya tidak bisa masuk meskipun sudah saya coba berkali-kali." jawab perawat yang mengurusnya.<br />
<br />
Akhirnya, tidak ada cara lain selain memasukkan infus lewat salah satu kakinya. Alat bantu pernafasanpun langsung dipasang di mulutnya.<br />
<br />
Setelah perawat-perawat itu pergi, Yaqin melihat air mata mengalir dari mata istrinya yang terbaring lemah tak berdaya, tanpa terdengar satu patah katapun dari bibirnya. Yaqin menghapus air mata istrinya dengan penuh cinta. Dia pegang erat tangan istrinya. Ya Allah…… betapa istrinya sangat lemas dan pucat. Hatinya menangis.<br />
<br />
"Bi, kalau Ummi meninggal, apa Abi akan mendoakan Ummi?"<br />
"Pasti Mi... Pasti Abi mendoakan yang terbaik untuk Ummi." Hatinya seakan berkecamuk.<br />
"Doanya yang banyak ya Bi"<br />
"Pasti Ummi"<br />
"Jaga dan rawat anak kita dengan baik."<br />
"Abi jangan sampai seperti suami di kamar sebelah ini." Sambil menunjuk ke kamar pasien di sebelahnya.<br />
"Memangnya kenapa Mi?"<br />
"Istrinya lagi sakit, dia malah asyik berbicara dengan wanita lain lewat HP."<br />
"Abi juga jangan sampai seperti suami yang di kamar itu." Kembali jarinya menunjuk kamar yang dia maksud.<br />
"Memangnya suaminya kenapa, Mi?"<br />
"Kalau yang disana, istrinya sakit dia malah bingung mau ngapain. Jangan seperti itu ya Bi."<br />
“Trus, Abi harus bagaimana agar Ummi senang?” Tanya Yaqin dengan perasaan semakin tak menentu.<br />
”Abi harus selalu nemenin Ummi, supaya Abi bisa membimbing Ummi menyebut nama Allah”.<br />
<br />
Tak lama setelah pembicaraan itu...<br />
<br />
Tiba-tiba tubuh istrinya mulai lemah, semakin lama semakin lemah. Yaqin membisikkan sesuatu di telinganya, membimbing istrinya menyebut nama Allah. Lalu dia lihat kaki istrinya bergerak lemah, lalu berhenti. Lalu perut istrinya bergerak, lalu berhenti. Kemudian dadanya bergerak, lalu berhenti. Lehernya bergerak, lalu berhenti. Kemudian matanya…. Dia peluk tubuh istrinya, dia mencoba untuk tetap tegar. Tapi beberapa menit kemudian air matanya tak mampu ia bendung lagi...<br />
<br />
Setelah itu, Yaqin langsung menyerahkan semua urusan jenazah istrinya ke perawat. Karena dia sibuk mengurus administrasi dan ambulan. Waktu itu dia hanya sendiri, kedua orang tuanya pulang karena sudah beberapa hari meninggalkan cucunya di rumah. Setelah semuanya selesai, dia kembali ke kamar menemui perawat yang mengurus jenazah istrinya.<br />
<br />
"Pak, ini jenazah baik." kata perawat itu.<br />
Dengan penasaran dia balik bertanya.<br />
"Dari mana ibu tahu???"<br />
"Tadi kami semua bingung siapa yang memakai minyak wangi di ruangan ini?? Setelah kami cari-cari ternyata bau wangi itu berasal dari jenazah istri bapak ini."<br />
"Alhamdulillah..." Jerit hatinya senang.<br />
<br />
Tahukah sahabatku,… Apa yang dialami oleh istri Yaqin saat itu? Tahukah sahabatku, dengan siapa ia berhadapan? Berikut inilah kejadian yang dialami oleh Istri Sholehah kala itu (Kisah ini dituturkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan Ibnu Majah):<br />
<br />
إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِى انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلاَئِكَةٌ مِنَ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الشَّمْسُ مَعَهُمْ كَفَنٌ مِنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ وَحَنُوطٌ مِنْ حَنُوطِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِىءُ مَلَكُ الْمَوْتِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِى إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ - قَالَ - فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِى السِّقَاءِ فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِى يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِى ذَلِكَ الْكَفَنِ وَفِى ذَلِكَ الْحَنُوطِ وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ - قَالَ - فَيَصْعَدُونَ بِهَا فَلاَ يَمُرُّونَ - يَعْنِى بِهَا - عَلَى مَلأٍ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ إِلاَّ قَالُوا مَا هَذَا الرُّوحُ الطَّيِّبُ فَيَقُولُونَ فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ بِأَحْسَنِ أَسْمَائِهِ الَّتِى كَانُوا يُسَمُّونَهُ بِهَا فِى الدُّنْيَا<br />
<br />
"Sesungguhnya bila seorang yang beriman hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh segerombol malaikat dari langit. Wajah mereka putih bercahaya bak matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga. Selanjutnya mereka akan duduk sejauh mata memandang dari orang tersebut. Pada saat itulah Malaikat Maut 'alaihissalam menghampirinya dan duduk didekat kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: "Wahai jiwa yang baik, bergegas keluarlah dari ragamu menuju kepada ampunan dan keridhaan Allah". Segera ruh orang mukmin itu keluar dengan begitu mudah dengan mengalir bagaikan air yang mengalir dari mulut guci. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat maut menyambutnya. Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejappun berada di tangan Malaikat Maut. Para malaikat segera mengambil ruh orang mukmin itu dan membungkusnya dengan kain kafan dan wewangian yang telah mereka bawa dari surga. Dari wewangian ini akan tercium semerbak bau harum, bagaikan bau minyak misik yang paling harum yang belum pernah ada di dunia. Selanjutnya para malaikat akan membawa ruhnya itu naik ke langit. Tidaklah para malaikat itu melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya: "Ruh siapakah ini, begitu harum." Malaikat pembawa ruh itupun menjawab: Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut dengan namanya yang terbaik yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah dipanggil dengannya)."<br />
<br />
Tepat di malam ke 25 di Bulan Ramadhan, jenazah itu tiba di tanah kelahiran istrinya di Temboro. Ketika itu mertua Yaqin dan semua santri baru selesai melaksanakan sholat tarawih.<br />
"Jenazah ini tidak perlu diapa-apakan lagi, karena ini jenazah baik..." kata pengasuh pondok.<br />
Semua jamaah sholat tarawih ikut menyolatkan jenazah almarhumah. Subhanallah...<br />
<br />
Jenazah itupun dikuburkan pada hari itu juga.<br />
<br />
Setelah selesai, semua kembali ke rumah termasuk Yaqin.<br />
"Nak, sudahlah... Sekarang kita jangan terlalu memikirkan dia lagi." ucap bapak mertuanya seolah mengerti betapa Yaqin merasa sangat kehilangan.<br />
<br />
"Ibarat kita menyekolahkan anak kita, sekarang dia sudah lulus dan kita juga lulus mendidiknya." Yaqin hanya bisa diam dan menunduk.<br />
<br />
"Lupakanlah dia, dan segeralah kamu mencari penggantinya."<br />
<br />
"Pak, saya menikah dengan putri bapak seolah-olah hanya untuk menyempurnakan agamanya."<br />
"Bagaimana tidak, sejak kecil sudah mondok dan hafal Al-Qur'an. Setelah lulus, langsung menikah dan sekarang sudah dipanggil Pemilik yang sebenarnya."<br />
"Sungguh sangat singkat kebersamaan kami di dunia ini Pak, akan tetapi sangat banyak bekal yang dia bawa pulang. Biarlah dia bahagia di sana" Air matapun tak terasa mengalir deras...<br />
<br />
-------------------SELESAI-------------------<br />
<br />
Mendengar cerita suami, aku hanya bisa diam membisu. Hanya satu yang ada dalam hatiku saat itu.<br />
"Subhanallah..., begitu senangnya dia di alam sana... Akankah aku bisa seperti dia..??? Aaaahhh aku masih sangat jauuuuh untuk bisa seperti itu."<br />
"Duhai Ukhti,.... Duhai Istri Sholehah,... Aku Ingin Sepertimu..."<br />
<br />
Aku melihat ada genangan air mata di kedua bola mata suamiku… Akupun tak sanggup untuk meluapkan air mata ini…"Tapi, air mata ini bisa aku bendung waktu itu, karena aku malu untuk menangis di hadapan suami. Malu… karena aku masih jauuh untuk bisa seperti istri Yaqin. Namun, begitu suami keluar karena ada suatu kepentingan... Aku tumpahkan semua air mata ini dalam munajat kepadaNYA..."<br />
"Ya Allah, Ya Tuhanku... Sesungguhnya Engkau Yang Maha Pengampun, maka ampunilah aku..." Sampai sekarang selalu terngiang di pikiranku... Semoga aku bisa mengambil ibrahnya. Terima kasih Ya Allah, Engkau beri aku satu pelajaran penting hari ini..."<br />
<br />
Cerita ini aku tulis sejak Senin, 02 November 2009 ketika putriku berusia 17 bulan...<br />
<br />
Sidoarjo, 04 November 2009<br />
09.30 WIB<br />
<br />
<br />
Wassalam,<br />
<br />
_Ummu Farah_<br />
Siti Fauziah Fauzi<br />
<br />
<br />
Ya Allah, hanya atas Cinta dan AnugerahMU, sampai detik ini hamba masih diberi kesempatan untuk merasakan manisnya Iman... Alhamdulillah...<br />
<br />
Ucapan terima kasihku<br />
Untuk suamiku tercinta Irfan Fauzi, Jazakallahu khairan atas bimbinganmu selama ini... Terima kasih atas saran dan kritikannya pada tulisan ini... :-)<br />
Untuk Anak-anakku:<br />
Fanny & Farah, kalian adalah penyejuk mata Ummi & Abi.<br />
Untuk keluarga besarku, terima kasih atas cinta & kasih sayang yang melimpah untuk kami...<br />
Untuk sahabatku tercinta, maafkan atas kesalahanku selama ini...Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-67916947345457512302010-05-16T20:26:00.000-07:002010-05-16T20:26:59.291-07:00kok jodohku begini???<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpEX0syrDdtKKY6CSlvP_5zbd7b3r61zV225WQOuW7QbckMdDPYK6wwNBkRUyayaMTsYFQA3JYSXd_YhZVT14ZwKVcQKWJtqkgKASMFTCxdeQMucCN_H1sC_eXxMfmxQ2NHvGT8BEjzY0/s1600/___Frozen_illusion____by_Liek.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpEX0syrDdtKKY6CSlvP_5zbd7b3r61zV225WQOuW7QbckMdDPYK6wwNBkRUyayaMTsYFQA3JYSXd_YhZVT14ZwKVcQKWJtqkgKASMFTCxdeQMucCN_H1sC_eXxMfmxQ2NHvGT8BEjzY0/s320/___Frozen_illusion____by_Liek.jpg" /></a></div>Seorang sahabat mengirim sms curhat tentang suaminya. Dalam curhatan itu ia mengeluhkan tentang tindak tanduk suaminya yang lebih banyak kontra dengan dirinya. Merasakan betapa lelahnya ia menghadapi suaminya yang 'loading'nya lama banget katanya. Punya imam begitu…cuapee deh!<br />
<br />
Berusaha bijak, aku membalas sms nya, menasehati agar ia berdamai dengan keadaan, namanya juga udah jodoh, suka tidak suka yaaa… jalani dan bersabar.<br />
<br />
Sang sahabat membalas smsku dengan jawaban, "Aku sih paham, memang udah jodoh…tapi kok jodohku begini?"<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Mungkin, pertanyaan ini menghinggapi begitu banyak orang. Ketika mereka telah menikah, ternyata pasangan hidupnya jauh dari harapan.<br />
<br />
Begitulah manusia, kita ditakdirkan dengan kondisi siap menerima segala hal yang menyenangkan dan sesuai dengan keinginan kita. Tapi sedikit sekali dari kita, yang siap dengan hal-hal buruk yang terjadi dalam kehidupan kita. Begitupula dengan masalah jodoh. Siapa yang tidak ingin memiliki pasangan hidup yang sholeh atau sholehah? Siapa yang tidak ingin memiliki pendamping yang berakhlak baik? Seburuk apapun diri kita, pastinya kita ingin pasanganan hidup yang baik. Tetapi tidak setiap orang mendapati kenyataan ini dalam kehidupan.<br />
<br />
Ada yang suaminya sungguh baik, tetapi istrinya galak, matre dan tukang gosip. Ada yang istrinya sholehah, tapi suaminya tukang mabuk, suka judi dan bersikap kasar. Atas fenomena ini, mungkin banyak yang bertanya-tanya, kok kesannya jadi nggak adil ya? Orang baik-baik, tapi dapet jodohnya begitu?<br />
<br />
Memang jadi sulit dijelaskan. Tetapi jika ingin dipahami, inilah ujian Allah. Sesungguhnya Allah berkehendak membuka ladang amal yang seluas-luasnya bagi diri kita, lewat tingkah polah pasangan hidup kita, yang jauh dari harapan. Alhamdulillah, tidak usah cari jauh-jauh, ladang amal ada di depan mata. Karena pernikahan memang ladang amal soleh. Bagi wanitanya, pun bagi laki-lakinya. Maka bagi yang “tidak beruntung” dengan pasangan hidup yang tidak sholeh atau sholehah, mudah-mudahan tetap dapat memberi pelayanan yang terbaik bagi pasangannya, dengan harapan semoga mendapat ridho Allah dan semoga kelak mendapat derajat yang tinggi di sisi-Nya.<br />
<br />
Jika kita merasa tidak beruntung terhadap pasangan hidup kita, mari mengevaluasi diri. Apa sesungguhnya niat kita ketika hendak menikah? Mudah-mudahan, jawaban dari pertanyaan itu, dapat memperbaiki mood kita yang buruk karena pasangan hidup tidak sesuai harapan.<br />
<br />
Jika benar kita meniatkan pernikahan sebagai ibadah atau sarana pengabdian kita kepada Sang Khalik, maka semestinya pelayanan kita terhadap pasangan hidup kita, tidak ada embel-embelnya. Artinya, mau dia bertingkah seperti apapun tidak jadi masalah, karena pasangan hidup hanya sarana untuk mengabdi kepada Allah. Fokus dan tujuan kita adalah Allah. Jika ternyata pasangan hidup kita adalah pribadi yang sholeh/ah, maka itu adalah bonus.<br />
<br />
Jika kita merasa tidak beruntung terhadap pasangan hidup kita, sebelum berputus asa, mungkin ada baiknya kita merenung kembali. Tidakkah kita terlalu meninggikan kriteria bagi pasangan hidup kita? Sikap berharap secara berlebihan terhadap pasangan hidup, berpotensi menyebabkan rumah tangga tidak berjalan dengan baik. Karena pola pikir yang tertanam dalam diri kita adalah menerima kebaikan, bukan keinginan untuk saling mengisi dan memperbaiki satu sama lain.<br />
<br />
Semakin tinggi standard yang kita tetapkan, maka akan semakin besar potensi kita untuk kecewa. Karena semakin tinggi standard, semakin terlihat jelas jika terjadi hal-hal yang melenceng dari standard.<br />
<br />
Memiliki harapan tinggi boleh-boleh saja. Tapi, sebelum kita bermimpi mendapatkan suami seperti Rasulullah, lebih baik kita berkaca diri, sudahkah kita seperti Ibunda Khadijah r.ha? Sebelum berharap memiliki istri seperti Fatimah Az-Zahra r.ha, lebih baik kita bercermin, sudahkah kita seperti Ali bin Abi Thalib r.a?<br />
<br />
Jadi, berprasangka baiklah kepada Allah, kemudian berserah diri. Jangan mendikte Allah tentang jodoh kita. Percaya, bahwa Allah memberi kita yang terbaik sesuai dengan penilaian Allah terhadap diri kita. Yakin, Allah tahu yang paling cocok untuk diri kita. Kemudian berserah dirilah dan bersabar dengan jodoh pilihan dari Allah. Insya Allah, ini akan lebih menenangkan batin dan membuka pintu keikhlasan.<br />
<br />
Selalu ada hikmah dalam setiap peristiwa. Maka berpikirlah positif apapun yang terjadi. Melihat segala sesuatu dengan kemungkinan-kemungkinan terbaik. Jika pasangan hidup pemalas, mungkin, Allah berkehendak kita menjadi lebih rajin. Jika pasangan hidup pemarah, mungkin, Allah berkehendak kita menjadi lebih sabar. Jadi, orientasi kita selalu ke Allah. Insya Allah, ini lebih melapangkan hati.<br />
<br />
Sebagai penutup, mungkin kisah yang terjadi di masa Harun Al-Rasyid berkuasa di bawah ini, bisa menjadi pencerahan. Diceritakan, terdapatlah seorang wanita muda yang cantik dan sholehah, namun bersuamikan seorang laki-laki tua yang buruk rupa, buruk pula perangainya.<br />
<br />
Wanita tersebut tinggal dalam sebuah kemah. Kebetulan ia kedatangan seorang tamu. Ketika datang suaminya, bergegaslah wanita itu mengambil air, kemudian membasuh tangan dan kaki suaminya. Suaminya tidak menunjukkan sikap yang simpatik atas pelayanan istrinya. Atas sikap suami tersebut, sang tamu berkomentar. Mengapa sang wanita harus bersusah payah berkhidmat sedemikian rupa padahal suaminya sudah tua, buruk rupa dan kasar. Atas komentar tamu tersebut, sang wanita menjawab. “Aku mendengar Rasulullah bersabda, bahwa iman terbagi menjadi dua. Separuh dalam syukur dan separuh dalam sabar. Aku sangat bersyukur Allah menganugerahkan kepadaku wajah yang cantik. Maka aku ingin meyempurnakan separuhnya dengan bersabar atas perlakuan suamiku.”<br />
<br />
Wallahu’alam.<br />
<br />
<br />
ummuali.wordpress.comUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-73011634897855697542010-05-14T19:19:00.001-07:002010-05-14T19:27:15.499-07:00Sergapan Rasa Memiliki<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoQ1qqcspaoqy6-Y0_MNtfzS4bAq0ZV7WEcTu8Oe7bFe8TuVcMNVtvn0yc9VMmQiJ4rixqqX6GHRn294QjPAuCB0AR9HLniv_XK9bJHfopGMHhAYwmLmn9gOkL49oWgU03A9jzfqShPss/s1600/Want_More_Time___by_pacificdreams.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoQ1qqcspaoqy6-Y0_MNtfzS4bAq0ZV7WEcTu8Oe7bFe8TuVcMNVtvn0yc9VMmQiJ4rixqqX6GHRn294QjPAuCB0AR9HLniv_XK9bJHfopGMHhAYwmLmn9gOkL49oWgU03A9jzfqShPss/s320/Want_More_Time___by_pacificdreams.jpg" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">..milik nggendhong lali..</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">rasa memiliki membawa kelalaian</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">-peribahasa Jawa-</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"></div><a name='more'></a><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">***</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan..</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Kata orang Jawa, ”Milik nggendhong lali”. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Inilah sulitnya. Tak seperti seorang tukang parkir yang hanya dititipi, kita diberi bekal oleh Allah untuk mengayakan nilai guna karuniaNya. Maka rasa memiliki kadang menjadi sulit ditepis.</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Ya. Di jalan cinta pejuang, hakikat ini akan kita asah. Bahwa kita semua milik Allah, dan hanya padaNya kita akan kembali. Maka dengan sahabat yang paling mesra, dengan isteri yang paling setia, atau anak-anak yang berbakti, hubungan kita bukanlah hubungan saling memiliki. Allah hanya meminjamkan dia untuk kita dan meminjamkan kita untuknya..</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">taken from: Jalan Cinta Para Pejuang/ Gairah/ Sergapan Rasa Memiliki/…</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">by Salim A. Fillah</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">Sumber : http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2008/08/sergapan-rasa-memiliki/</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-73855056481871499392010-05-14T19:18:00.000-07:002010-05-14T19:25:37.875-07:00Berbicara dengan Hati, Bukan Jari<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHpoPER9B4VUZRBfpoAm0CKrBno_54_BU9qIwkNpDq4cYc-1fnMRdzF0bGe1vxyHRpxbn6arXcvGenYHPnr_a2_7qnivp9y6D09gJsrqCaREeNw5JNLNLgGveuNNW86xwu_adX8zkVf-8/s1600/2ba9b349f61d4c30b75a003ec7e0e950.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHpoPER9B4VUZRBfpoAm0CKrBno_54_BU9qIwkNpDq4cYc-1fnMRdzF0bGe1vxyHRpxbn6arXcvGenYHPnr_a2_7qnivp9y6D09gJsrqCaREeNw5JNLNLgGveuNNW86xwu_adX8zkVf-8/s320/2ba9b349f61d4c30b75a003ec7e0e950.jpg" /></a></div><br />
<br />
"Matikan komputermu. Matikan juga ponselmu.<br />
Dan perhatikan manusia di sekelilingmu."<br />
-- Eric Schmidt, CEO Google<br />
<br />
ADIL jengkel betul dengan istrinya.<br />
Sepanjang liburan akhir pekan keduanya sepakat memilih beristirahat di rumah.<br />
Lima hari bekerja membuat mereka ingin melemaskan otot-otot.<br />
Sekaligus tentu saja mempererat tali cinta diantara mereka berdua.<br />
Maklum, mereka belum lagi genap dua tahun menikah.<br />
Buah hati yang menjadi dambaan mereka tak kunjung datang.<br />
Mungkin Yang Di Atas belum memberikan mereka kepercayaan.<br />
Begitu keduanya menghibur diri.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tapi akhir pekan yang seharusnya indah justeru berubah menyebalkan.<br />
Seharian Anita, sang istri, hanya berada di kamar.<br />
Mungkin saja letih.<br />
Dia ingin istirahat penuh.<br />
Namun yang membuatnya jengkel, Anita terus menggenggam gadget kesayangannya.<br />
Anita kadang tertawa sendiri.<br />
Sampai kadang dia tak ingin jauh dari colokan listriknya.<br />
Gadget kesayangannya itu sering kehilangan tenaga, sehingga terpaksa harus dicharge.<br />
<br />
<br />
Adil geleng-geleng kepala.<br />
Namun Anita cuek bebek.<br />
Katanya, dia sedang asyik mengobrol dengan teman yang lama tak dijumpainya.<br />
Bertemu di jejaring sosial facebook, mereka kemudian bertukar nomor PIN.<br />
Lalu itulah yang terjadi, mereka mengobrol ngalor-ngidul sesuka hati.<br />
Adil pun memilih untuk keluar rumah dan mengobrol dengan tetangga.<br />
<br />
Ponsel cerdas itu menjadi booming di dunia, termasuk Indonesia.<br />
Apalagi setelah beberapa tokoh dunia dan seleb memakainya juga.<br />
Kelebihan menggunakan gadget ini dibandingkan dengan ponsel biasa memang<br />
beragam, misalnya saja layanan push mail, menerima dan membalas email yang masuk pada saat itu juga.<br />
Atau mengambil foto dan mengirimkannya ke handai taulan di luar negeri dalam sekejap.<br />
Lalu ada pula fasilitas chatting, browsing, hingga fasilitas online berbagai situs jejaring sosial.<br />
Kedekatan seseorang di dunia maya seakan-akan tidak lagi terpisahkan oleh ruang dan waktu.<br />
Tak aneh bila kemudian muncul istilah, 'mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.'<br />
<br />
Namun memakai gadget ini bukan tak ada kekurangannya sama sekali.<br />
Contohnya, ya itu, interaksi antara Adil dan Anita menjadi tak nyaman.<br />
Ketika seseorang berasyik masyuk dengan dirinya dan dunianya sendiri, serta tidak memperdulikan lingkungan sekitar, apalagi menjadikannya sebagai ketergantungan yang sangat<br />
Tapi bukankah merujuk peribahasa, 'man behind the gun', bahwa baik-buruknya penggunaan<br />
teknologi tergantung si pemakainya?<br />
Betul.<br />
Bila pemakainya memakai dengan bijak, tentu tak masalah.<br />
Sebaliknya pun demikian.<br />
<br />
Tapi nyatanya memang, menurut penelitian, ketergantungan akan gadget menyebabkan seseorang menjadi tak fokus.<br />
Bahkan para uskup senior di Liverpool, Inggris menantang umatnya untuk berpuasa teknologi selama 40 hari.<br />
Mereka mendorong masing-masing orang untuk memangkas penggunaan karbon dengan tidak memakai sejumlah gadget.<br />
Tingkat ketergantungan pemakai gadget memang sungguh luar biasa.<br />
Hingga muncul istilah, 'it is heaven for business owners, but hell for employees'.<br />
<br />
Gadget dibuat dengan tujuan membantu si pemakainya.<br />
Untuk menjadikan urusan berjalan dengan efektif dan efisien.<br />
Ambil satu contoh, misalnya saja ketika diadakan rapat penting.<br />
Saat dalam rapat membutuhkan komunikasi rahasia di antara peserta rapat, tentu saja cara yang<br />
cerdas dengan menggunakan gadget yang tersedia.<br />
<br />
Tetapi pada kenyataannya, yang kerap kita jumpai, teknologi yang awalnya dirancang untuk membantu kehidupan manusia, malah justeru membuat kita semakin menjauh satu dengan lainnya.<br />
Menjauh dari orang-orang yang kita kasihi, dan menjauh pula dari Tuhan yang sesungguhnya dekat dengan kita.<br />
<br />
Dengarlah apa yang dikatakan Eric Schmidt, CEO Google, dalam pidatonya di University<br />
of Pennsylvania, Amerika Serikat, pada 18 Mei 2009 lalu dihadapan enam ribu wisudawan.<br />
Schmidt berujar, "Matikan komputermu. Matikan juga ponselmu. Dan perhatikan manusia di sekelilingmu."<br />
Schmidt mengatakan demikian setelah melihat banyaknya kaum muda yang hanya terpaku pada dunia virtual di internet.<br />
Seakan tak peduli untuk berelasi dengan orang lain.<br />
<br />
Itulah yang dirasakan Adil sekarang.<br />
Ia merasa jauh sekali dari istrinya.<br />
Adil sesungguhnya tak menuntut lebih dari Anita.<br />
Adil hanya ingin Anita menghentikan sekali saja<br />
pada saat mereka berada di rumah.<br />
Apalagi disaat-saat mereka sedang berdua atau liburan.<br />
Baginya komunikasi yang baik bukan lagi<br />
semata dengan jari-jari, walau teknologi sudah maju.<br />
Berbicara dengan tatap muka, ekspresi wajah,<br />
dan bahasa tubuh tentu lebih memanusiakan diri.<br />
<br />
Kita seharusnya memang dapat berhenti sejenak<br />
dari kegaduhan dunia virtual dan kembali<br />
pada 'habitatnya' sebagai makhluk sosial.<br />
<br />
*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media Komputindo, 2009<br />
<br />
Sumber: http://www.facebook.com/marriagerebuildersUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-65509360362929490692010-05-07T01:54:00.000-07:002010-05-07T01:54:00.016-07:00Fathimah dan Ali ( Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A. Fillah)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjETFhEkUawvPeGgR4-CYejEmEVPbCbmysxHVlxcKhJsSK0lKnLiKaASnvFXfRJIgV55xq5UNelGjpiCmn1MhpqRcun25ESFjJWabW1VrmhB8oVH2p1Cn7hyphenhyphenQKHhRRU_j9qggiTzUzJOsk/s1600/b.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjETFhEkUawvPeGgR4-CYejEmEVPbCbmysxHVlxcKhJsSK0lKnLiKaASnvFXfRJIgV55xq5UNelGjpiCmn1MhpqRcun25ESFjJWabW1VrmhB8oVH2p1Cn7hyphenhyphenQKHhRRU_j9qggiTzUzJOsk/s320/b.jpg" /></a></div>~ [ Ingatkah kalian tentang kisah Fatimah dan ALi ?? yang keduanya saling memendam apa yang mereka rasakan .. tapi pada akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan suci nan indah .. ] ~<br />
<span> --------------------------</span><span class="word_break"></span>-----------------------<br />
<div> <br />
<br />
<span> bismillahirrahmaaniirrahii</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>m<br />
<br />
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.<br />
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.<br />
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.<a name='more'></a><br />
<br />
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.<br />
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.<br />
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.<br />
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!<br />
Maka gadis cilik itu bangkit.<br />
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.<br />
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.<br />
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.<br />
Mengagumkan!<br />
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.<br />
<br />
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.<br />
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.<br />
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.<br />
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.<br />
<br />
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.<br />
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.<br />
Kedudukan di sisi Nabi?<br />
Abu Bakr lebih utama,<br />
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,<br />
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.<br />
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah<br />
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..<br />
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.<br />
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..<br />
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.<br />
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..<br />
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?<br />
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.<br />
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.<br />
<br />
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.<br />
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”<br />
<br />
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.<br />
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.<br />
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.<br />
<br />
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.<br />
Lamaran Abu Bakr ditolak.<br />
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.<br />
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.<br />
Setelah Abu Bakr mundur,<br />
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,<br />
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,<br />
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.<br />
’Umar ibn Al Khaththab.<br />
Ya, Al Faruq,<br />
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.<br />
’Umar memang masuk Islam belakangan,<br />
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.<br />
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?<br />
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?<br />
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?<br />
Dan lebih dari itu,<br />
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,<br />
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”<br />
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.<br />
<br />
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.<br />
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.<br />
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.<br />
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.<br />
Menanti dan bersembunyi.<br />
’Umar telah berangkat sebelumnya.<br />
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.<br />
”Wahai Quraisy”, katanya.<br />
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.<br />
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”<br />
’Umar adalah lelaki pemberani.<br />
’Ali, sekali lagi sadar.<br />
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.<br />
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.<br />
’Umar jauh lebih layak.<br />
Dan ’Ali ridha.<br />
<br />
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.<div class="photo photo_right"><div class="photo_img"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30764242&op=1&view=all&subj=405867636584&aid=-1&auser=0&oid=405867636584&id=1308642007"><img class="img" src="http://photos-b.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs556.ash1/32393_1305483959703_1308642007_30764242_2907691_a.jpg" /></a></div></div><br />
Ia mengambil kesempatan.<br />
Itulah keberanian.<br />
Atau mempersilakan.<br />
Yang ini pengorbanan.<br />
<br />
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.<br />
Lamaran ’Umar juga ditolak.<br />
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?<br />
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?<br />
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?<br />
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.<br />
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.<br />
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?<br />
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?<br />
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?<br />
<br />
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.<br />
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”<br />
”Aku?”, tanyanya tak yakin.<br />
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”<br />
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”<br />
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”<br />
<br />
’Ali pun menghadap Sang Nabi.<br />
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.<br />
Ya, menikahi.<br />
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.<br />
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.<br />
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?<br />
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?<br />
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.<br />
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.<br />
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.<br />
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.<br />
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.<br />
<br />
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”<br />
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.<br />
Dan ia pun bingung.<br />
Apa maksudnya?<br />
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.<br />
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.<br />
Mungkin tidak sekarang.<br />
Tapi ia siap ditolak.<br />
Itu resiko.<br />
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.<br />
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.<br />
Ah, itu menyakitkan.<br />
<br />
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”<br />
”Entahlah..”<br />
”Apa maksudmu?”<br />
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”<br />
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,<br />
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!<br />
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”<br />
<br />
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.<br />
Dengan menggadaikan baju besinya.<br />
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.<br />
Itu hutang.<br />
<br />
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.<br />
Dengan keberanian untuk menikah.<br />
Sekarang.<br />
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.<br />
’Ali adalah gentleman sejati.<br />
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,<br />
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”<br />
<br />
Inilah jalan cinta para pejuang.<br />
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.<br />
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.<br />
Seperti ’Ali.<br />
Ia mempersilakan.<br />
Atau mengambil kesempatan.<br />
Yang pertama adalah pengorbanan.<br />
Yang kedua adalah keberanian.<br />
<br />
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,<br />
<br />
dalam suatu riwayat dikisahkan<br />
<br />
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)<br />
<br />
Fathimah berkata kepada ‘Ali,<br />
<br />
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”<br />
<br />
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”<br />
<br />
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”<br />
<br />
~yang salah dari pacaran itu bukan perasaannya, de<br />
melainkan jalan yang kita pilih, untuk mempertanggungjawabkan perasaan tsb lah, yang tidak bijak...~<br />
<br />
:) semoga istiqomah,<br />
ini memang tidak mudah. :)<br />
<br />
Notes seorang teman..<br />
diambil dari Buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah<br />
<br />
semoga bermanfaat</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-44053838187007269152010-04-28T20:31:00.000-07:002010-04-29T02:15:02.624-07:00Cinta Tanpa Batas<div style="font-family: comic sans ms; font-style: italic; text-align: center;">bukankah kita diciptakan<br />
untuk dapat saling melengkapi…</div><div style="font-family: comic sans ms; font-style: italic; text-align: center;"><br />
</div><br />
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgl5k4rJWi8rskzFV3hNDngc3IlSCEZWu__S9yawO0ar2BRoN4blVq4m1qAzCTUcebJ8Q47vC7iZjtLpGgxPwp7MUiDwji0WX6Zsa9Tc9bE7ih3QBQYMUZvv-1hDGqvuDe4lb6nJwewavY/s1600/2010_04_18_04_21_43_detail_cinta.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgl5k4rJWi8rskzFV3hNDngc3IlSCEZWu__S9yawO0ar2BRoN4blVq4m1qAzCTUcebJ8Q47vC7iZjtLpGgxPwp7MUiDwji0WX6Zsa9Tc9bE7ih3QBQYMUZvv-1hDGqvuDe4lb6nJwewavY/s320/2010_04_18_04_21_43_detail_cinta.jpg" /></a>"Cinta Tanpa Batas", itulah tema yang diusung Kick Andy suatu episode. Dalam acara itu diundang perempuan-perempuan hebat yang bersuamikan mereka, orang-orang dengan ketidaksempurnaan fisik.<br />
<br />
Ada Lela, seorang wanita cantik dengan segala kesempurnaan fisiknya, yang menikah dengan Priagung, seorang penderita tuna rungu. Priagung menderita tuna rungu sejak lahir, dan itu menyebabkan dia tidak dapat berkomunikasi selancar orang kebanyakan. Tidak ada keraguan bagi Lela untuk menerima lamaran Priagung meski dia tahu kondisi Priagung yang berbeda dengan orang lain. Mereka tidak pacaran. Hanya berinteraksi sekali waktu, saat Lela berkunjung ke rumah saudaranya.<br />
<br />
“Saya ingin punya suami yang tidak nakal,” begitu kata Lela sambil tersenyum. Mereka hidup bahagia dan sudah dikaruniai seorang putra.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Ada kisah antara Jajang dan Maryati. Jajang, terpaksa harus hidup di atas kursi roda setelah kakinya mengalami kelumpuhan akibat peristiwa tabrak lari yang menimpanya. Jajang bekerja sebagai pegawai di RS Fatmawati. Dia bertemu dengan Maryati, seorang suster yang juga bekerja di tempat yang sama. Alkisah, mereka memutuskan untuk menikah, setelah sebelumnya Maryati sempat dihinggapi keragu-raguan mengenai pasangannya. Tapi setelah melaksanakan sholat istikharoh, dia pun akhirnya mantap bahwa Jajang adalah jodoh yang dipilihkan untuknya.<br />
<br />
Mereka pun menikah, meski sempat tidak direstui oleh orang tua Maryati. Dan mereka membuktikan bahwa cinta memang tidak memandang fisik. Pernikahan mereka kini telah berusia 23 tahun, dan telah dikaruniai seorang putrid yang kini beranjak dewasa.<br />
<br />
Lalu yang ketiga, ada kisah dari seorang tuna netra bernama Muhammad Fitra Salahudin dan seorang wanita cantik bernama Saidah Fauzi.<br />
<br />
Fitra, adalah seorang pemuda yang sedang berusaha menghilangkan kebiasaan buruknya minum-minuman keras, ketika suatu waktu ia menghadiri pesta yang diadakan oleh boss dari pacarnya. Dalam pesta yang menyediakan minuman berlkohol itu, dia kembali menenggak minuman setan itu dan pulang dalam kondisi mabuk berat. Dia menyetir mobil sambil tidur dan tiba-tiba terbangun dalam kegelapan. Wajahnya perih karena tertusuk pecahan-pecahan kaca, bola matanya sebelah keluar, dan sebelah lagi pecah. Tapi nyawanya tertolong dan dia harus menjalani dua kali operasi dengan 150 jahitan. Setelah kejadian itu, dia ditinggalkan oleh pacarnya yang tidak bersedia menerima kondisi fisiknya.<br />
<br />
Fitra yang sudah tuna netra ingin mencari istri. Saya ingin istri yang Islami, katanya. Dan dikenalkanlah dia dengan Saidah. Saidah sendirilah yang menawarkan diri kepada keluarganya ketika ada tawaran yang datang.<br />
<br />
Pada akhirnya, dua orang itu pun dipertemukan untuk saling mengenal satu sama lain. Mereka berbicara selama dua jam. Dan di akhir percakapan yang hanya dua jam itu, Saidah bersedia menikah dengan Fitra. Ya, dalam waktu hanya dua jam dia bersedia dinikahi oleh seorang yang-dalam kacamata manusia-tidak sempurna.<br />
<br />
Saidah yakin, bahwa keinginan Fitra untuk menikahinya berasal dari hati. Fitra tidak bisa melihat, darimana lagi kalau bukan dari hati keinginan itu ada?<br />
<br />
“ Saya selalu minta untuk diberi suami yang tidak hanya melihat saya secara fisik. Dan Allah ternyata benar-benar memberi saya suami yang tidak bisa melihat. Dia mengabulkan permohonan saya..” Subhanallah….<br />
<br />
<br />
Cinta memang tanpa batas. Cinta tidak memandang seseorang itu cantik atau tidak, tampan atau tidak, kaya atau tidak, dan lain sebagainya. Cinta hadir karena Allah telah menganugerahkan perasaan itu bersemayam di dalam hati., tidak peduli seberapa buruk fisik seseorang. Cinta itu menerima setiap kekurangan dan kelebihan. Cinta itu indah di hati, meski tidak indah di mata…..begitu kan?<br />
<div><br />
</div><div><div style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="color: #cc33cc; font-family: 'comic sans ms';">cinta adalah sarana untuk memahami dua jiwa..</span></div><span style="color: #cc33cc; font-family: 'comic sans ms';"></span><br />
<span style="color: #cc33cc; font-family: 'comic sans ms';"></span><br />
<div style="text-align: center;"><span style="color: #cc33cc; font-family: 'comic sans ms';">ia bukan kata yang datang dari bibir dan lidah </span></div><div style="text-align: center;"><span style="color: #cc33cc; font-family: 'comic sans ms';">yang membawa hati bersama-sama.. </span></div><div style="text-align: center;"><span style="color: #cc33cc; font-family: 'comic sans ms';">tidak ada yang lebih besar dan suci daripada apa yang diucapkan mulut..</span></div><div style="text-align: center;"><span style="color: #cc33cc; font-family: 'comic sans ms';">dia memancarkan jiwa kita,.</span></div><div style="text-align: center;"><span style="color: #cc33cc; font-family: 'comic sans ms';"> bisikkan untuk hati kita..</span></div><div style="text-align: center;"><span style="color: #cc33cc; font-family: 'comic sans ms';">dan membawa keduanya bersama-sama..</span></div><div style="text-align: center;"><span style="color: #cc33cc; font-family: 'comic sans ms';">(Kahlil Gibran)</span><br />
<br />
<div style="text-align: right;"><a href="http://andiahzahroh.multiply.com/journal/item/349/Cinta_Tanpa_Batas_sepotong_ulasan_dari_kisah_cinta_para_pasangan_hebat"><span style="color: #cc33cc; font-family: 'comic sans ms';">sumber </span></a></div></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-83719739359225439842010-04-28T18:53:00.000-07:002010-04-28T18:53:52.873-07:00Aku Bukanlah Aib<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLG4ZnY3WHgAAGh4bedoMi8OLTbQOy4Tmlr7sfx6t_g2YH3Mrjka_SdeMqQoOovPx-euAGXPbe8nD7qmfzXmwk0BpoR9uOhIi4q0mGxleK-nggB7y0huPbzc5Y_agG2U0FPTdxpXT-6xY/s1600/anakmanis.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLG4ZnY3WHgAAGh4bedoMi8OLTbQOy4Tmlr7sfx6t_g2YH3Mrjka_SdeMqQoOovPx-euAGXPbe8nD7qmfzXmwk0BpoR9uOhIi4q0mGxleK-nggB7y0huPbzc5Y_agG2U0FPTdxpXT-6xY/s320/anakmanis.jpg" /></a></div>Kisah Kehidupan ANAK ADALAH AMANAH-NYA, BUKAN AIB. HANYA TITIPAN, BUKAN MILIK KITA. APAKAH KITA BERHAK MENGGUGAT JIKA TITIPAN-NYA TERNYATA TIDAK SEPERTI ANAK-ANAK LAIN? KITA HANYA DITUGASKAN MENJAGA DAN MENGASUHNYA DENGAN CINTA, KARENA IA DITITIPKAN ALLAH, YANG RAHMAN DAN RAHIM-NYA TAK PERNAH SURUT DARI SISI KITA. BUKAN TUGAS KITA MENILAI APAKAH SESEORANG AMANAH-NYA YANG BERNAMA "KHALID" ATAU SIAPAPUN, LAYAK MENJADI ANAK KITA ATAU TIDAK. ================================================<br />
<br />
ANAK ADALAH AMANAH-NYA, BUKAN AIB. HANYA TITIPAN, BUKAN MILIK KITA. APAKAH KITA BERHAK MENGGUGAT JIKA<br />
TITIPAN-NYA TERNYATA TIDAK SEPERTI ANAK-ANAK LAIN? KITA HANYA DITUGASKAN MENJAGA DAN MENGASUHNYA DENGAN CINTA, KARENA IA DITITIPKAN ALLAH, YANG RAHMAN DAN RAHIM-NYA TAK PERNAH SURUT DARI SISI KITA. BUKAN TUGAS KITA MENILAI APAKAH SESEORANG AMANAH-NYA YANG BERNAMA "KHALID" ATAU SIAPAPUN, LAYAK MENJADI ANAK KITA ATAU TIDAK.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
MUTIARA HIKMAH:<br />
Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak yang bernama Khalid, yang terlahir dengan keadaan Down Syndrome. Seorang anak yang merupakan amanah dari Allah, yang tidak akan tumbuh seperti anak normal dan dia tidak akan bisa menjadi orang dewasa normal yang<br />
mampu mengurus dirinya sendiri. Khalid memang tidak tumbuh seperti anak-anak normal lainnya, Khalid tidak bisa membaca, mengaji bahkan shalat pun hanya bisa mengikuti gerakan-gerakannya, tanpa bisa menghapal. Bicara pun tidak lancar, tak bisa mandi dan berpakaian sendiri hingga usianya hampir 9 tahun. Khalid juga sulit untuk dibiasakan buang air di kamar mandi.<br />
<br />
Namun Khalid mencintai sesuatu dengan keikhlasan yang bersih dari egoisme anak seusianya. Cintanya yang tulus, perasaannya yang halus dan penuh kasing sayang.<br />
<br />
Aku bertasbih...mataku pedih...<br />
Air mataku menetes saat kubaca ayat kedua belas dari surat Lukman... Anisykurlillahi...<br />
Dan, aku bersyukur...<br />
<br />
Judul Asli: ANUGERAH TERINDAH<br />
Oleh: Fitri<br />
<br />
Anak lelaki itu berumur lima atau enam tahun. Ia mengenakan kemeja putih dan pullover kotak-kotak hijau dengan logo taman kanak-kanak di dada kiri. Di bahunya tersandang tas punggung merah dan di dadanya tersilang tali botol minuman. Ia kelihatan lucu dan manis.<br />
<br />
Begitu naik ke dalam angkot, bocah itu menunjukkan hasil origaminya pada wanita yang mungkin ibunya.Seekor burung yang sedikit kusut dan penyok. Ia juga menyanyikan lagu baru yang diajari gurunya hari itu.<br />
<br />
Lihat ibu keretaku yang baru cukup besar untuk ayah dan ibu roda tiga buatanku sendiri dari kulit buah jeruk bali...'<br />
<br />
Aku tersenyum geli mendengar suaranya yang agak sumbang tapi penuh semangat. Bocah itu balas tersenyum padaku, kemudian kembali asyik memberondong ibunya dengan berbagai cerita. Mulutnya tak henti mengunyah donat yang barangkali dibelikan ibunya di depan sekolah. Ibunya menyahut sesekali dengan anggukan atau gumaman setengah tak peduli, sementara tangannya mengibaskan lukisan krayon anaknya untuk menghalau panas.<br />
<br />
Aku tidak menyalahkannya. Cuaca siang itu memang panas dan kemacetan jalan membuat udara pengap. Melihat bungkusan yang terserak di kakinya, aku yakin ia telah menghabiskan paginya untuk berbelanja kebutuhan dapur. Tak heran ia kelihatan sangat letih,<br />
mengantuk dan tak begitu bersemangat mendengar cerita anaknya di sekolah hari itu.<br />
<br />
Atmosfer yang menyengat tidak mengalihkan perhatianku dari anak itu. Kureguk tiap kata dan lagu yang dinyanyikannya seperti pengelana kehausan yang menemukan wadi di tengah gurun. Alangkah rindunya aku akan semua itu. Aku tak ingin membandingkan anakku dengan bocah lucu di angkot itu, tapi mau tak mau Khalid singgah ke dalam benakku dan merusak kenikmatanku.<br />
<br />
Setiap kali memeriksakan diri selama mengandung Khalid, bidan selalu mengatakan kehamilanku normal dan bayiku sehat. Karena itu aku dan suami sama sekali tak siap waktu dokter memberi tahu bahwa Khalid tidak normal. Ia lahir dengan Down syndrome.<br />
<br />
Menyakitkan. Masa depan anakku sudah ditentukan oleh dokter hanya beberapa menit setelah kelahirannya. Khalid tidak akan tumbuh seperti anak normal dan dia tidak akan bisa menjadi orang dewasa normal yang mampu mengurus dirinya sendiri.<br />
<br />
Selain itu dokter juga menemukan kelainan pada jantungnya yang harus diperbaiki dengan pembedahan. Ada juga gangguan mata dan tonsil. Hal yang menurut dokter biasa menimpa anak Down syndrome.<br />
<br />
Shock yang kualami setelah melahirkan Khalid cukup berat hingga aku harus dirawat agak lama di rumah sakit. Aku sangat tertekan hingga bahkan tak bisa menyusui Khalid. Dokter memperkenalkanku dengan wanita pakar penanganan anak Down syndrome. Wanita itu<br />
memberikan buku-buku dan brosur kepada kami.<br />
<br />
Tapi, semua yang kubaca malah semakin membuatku tertekan. Sejak dokter menyatakan bahwa aku positif mengandung, aku selalu berdoa dan bermimpi tentang seorang anak yang cerdas dan lincah. Anak yang akan kubimbing mengenal Allah dan Rasul-Nya. Yang akan kuajari mengaji dan shalat agar ia bisa mendoakan kedua orang tuanya. Ia akan kubawa tafakur alam ke tempat-tempat yang indah agar pandai bersyukur dan memiliki sifat tawadlu.<br />
<br />
Aku akan memperkenalkannya pada saudara-saudaranya yang yatim dan papa agar hatinya lembut dan peka. Yang akan mencintai buku-buku seperti aku dan ayahnya. Anak yang akan jadi seorang pejuang di jalan Allah, demi kebangkitan dan kejayaan Islam seperti panglima gagah itu, Khalid bin Walid.<br />
<br />
Kubayangkan jari mungil anakku menyusuri huruf-huruf dalam lembaran mushaf Al Qur-an. Jika lelaki, ia pasti lucu dalam baju koko dan peci mungilnya dan jika perempuan, ia pasti manis dalam jilbab kecilnya yang berbunga dan berenda<br />
<br />
Rasanya aku bahkan sudah bisa mendengar suaranya yang bening melantunkan ayat-ayat suci itu. Suara terindah yang pernah kudengar.<br />
<br />
Lalu ke mana bisa kukubur kecewaku saat mendapati Khalid tak mungkin mewujudkan semua impianku. Aku hanya bisa berdoa siang malam memohon kekuatan. Aku mengintrospeksi diri, mengingat kembali apa yang telah kulakukan hingga Allah menghukumku dengan memberikan Khalid.<br />
<br />
Hingga suatu hari kalimat itu menohokku. Anakku adalah amanat-Nya, bukan hukuman, bukan aib. Hanya titipan, bukan milikku. Apakah aku berhak menggugat jika titipan-Nya ternyata tidak seperti anak-anak lain? Aku hanya ditugaskan menjaga dan mengasuhnya<br />
dengan cinta, karena ia dititipkan Allah yang rahman dan rahim-Nya tak pernah surut dari sisiku. Bukan tugasku menilai apakah Khalid layak jadi anakku atau tidak. Setelah itu aku kembali menemukan ketenangan.<br />
<br />
Tapi tak urung kesedihan itu kerap. Sangat menyakitkan. Tiap kubawa Khalid ke dokter dan melihat ibu lain dengan bayi seumur Khalid, aku kembali terbenam dalam kepiluan. Entah untuk Khalid atau untuk diriku sendiri.<br />
<br />
Bulan demi bulan berlalu. Sementara bayi lain mulai tertawa dan mengeluarkan suara-suara lucu, Khalid hanya diam. Ia memandang kosong ke depan.<br />
<br />
Tiap hari suamiku dan aku harus bergantian merangsang otaknya dengan mainan warna-warna dan kerincingan yang ribut. Khalid baru menunjukkan reaksi saat usianya hampir delapan bulan.<br />
<br />
Khalid baru belajar berjalan di usia dua tahun. Bicaranya tak pernah selancar anak-anak lain dan kosa katanya sangat terbatas. Ia tak bisa mandi dan berpakaian sendiri hingga usianya hampir sembilan tahun. Ia harus disuapi tiap waktu makan sampai ia bisa makan sendiri beberapa bulan terakhir ini.<br />
<br />
Yang paling menjengkelkan, sulit sekali membiasakannya buang air di kamar mandi walaupun aku dan suamiku sudah mengajarinya selama delapan tahun dari sepuluh tahun usianya.<br />
<br />
Mengajari Khalid salat dan mengaji hampir tak mungkin. Khalid hanya bisa mengikuti gerakan-gerakan salat tanpa bisa menghafal bacaannya.<br />
<br />
Setelah beberapa lama, kami menyadari kesalahan kami dan mulai dari awal sekali, mengakrabkan Khalid dengan Allah dan Islam. Sesuatu yang lebih mudah dilakukan dan dipahami Khalid.<br />
<br />
'Di belakang rumah ada pohon jambuu...' suara lantang bocah berseragam TK diangkot itu mengembalikan perhatianku pada polahnya yang kocak. Tapi kali itu aku tak bisa menikmatinya tanpa merasa iri. Iri pada ibu yang tak menyadari besarnya nikmat Allah yang<br />
dimilikinya. Ada kegeraman dan rasa kasihan pada diri sendiri yang tiba-tiba bergolak dan menenggelamkanku.<br />
<br />
Membuat dadaku sesak dan leherku tercekik. Aku tak tahu apakah harus menyesal atau gembira saat anak itu akhirnya turun dari angkot.<br />
<br />
Di bangku yang mereka tinggalkan kulihat burung-burungan kertas itu gepeng. Kupungut dan kuperbaiki. Tiba-tiba mataku kabur oleh air mata. Khalid tak bisa melukis dengan krayon atau membuat origami. Koordinasi tangannya lemah sekali.<br />
<br />
Dalam kepalanku yang gemetar, burung-burungan itu kuremas menjadi gumpalan kertas. Aku tak sanggup lagi menahan isak. Dengan suara tercekat kusuruh sopir berhenti. Kusodorkan ongkos dan turun, walaupun rumahku masih jauh.<br />
<br />
Aku duduk di halte yang sepi. Menarik nafas dalam-dalam dan mengeringkan air mata. Saat aku menengadah mataku tertambat pada papan putih di seberang jalan. Sebuah masjid. Ya Allah, inikah teguran-Mu.? Aku menyeberang. Segera kuambil wudhu dan salat dua rakaat. Air mataku menetes saat kubaca ayat kedua belas dari surat lukman... Anisykurlillahi....<br />
<br />
Usai mengucap salam aku tercenung. Kekalutan yang sempat menguasai sudah berhasil kukendalikan. Aku merasa kosong, tapi damai. Lalu satu- satu fragmen kehidupan Khalid mulai kembali ke dalam benakku. Bukan gambaran muram tentang kekurangannya, tapi<br />
keistimewaan-keistimewaan kecil yang mengimbangi dan melengkapi hidupnya.<br />
<br />
Khalid suka sekali musik. Ia sulit menangkap dan menghafal lirik, tapi kenikmatan yang terlukis di wajahnya saat mendengarkan musik adalah keindahan tersendiri. Ia juga tak pernah nakal dan usil, selalu ramah dan murah senyum. Ia tak pernah marah dan<br />
ngambek, dan jika dimarahi, cepat kembali ceria.<br />
<br />
Ia sangat mencintai adiknya Fatimah, yang lahir empat tahun lalu. Kami sempat khawatir Khalid akan cemburu dengan kehadiran adiknya. Tapi ia malah antusias membantuku mengurus Fatimah. Sering kudapati Khalid duduk menatap adiknya yang tertidur dengan ekspresi terpesona yang tak terlukiskan.<br />
<br />
Fatimah normal dan cerdas sekali tapi ia menerima abangnya tanpa syarat. Kemesraan di antara keduanya selalu menerbitkan syukur di hatiku dan ayah mereka. Mengurus Khalid memang menuntut kesabaran dan kegigihan ekstra dibandingkan mengasuh anak biasa.<br />
Tapi Khalid memang bukan anak biasa.<br />
<br />
Ia telah mengajarkan kepada kami makna mencintai tanpa pamrih yang hakiki. Di zaman saat orang memburu segala yang superlatif; tercantik, terpandai, tergesit, anakku tidak akan bisa bersaing. Ia tidak mungkin menjadi teknolog, ekonom atau da'i tersohor.<br />
<br />
Tapi apakah itu akan mengurangi cinta kami padanya? Mengurangi kegembiraan melihat prestasi-prestasi kecilnya yang dianggap remeh dan sepele orang lain seperti bisa berpakaian dan makan sendiri? Aku dan ayahnya tak akan memperoleh apa-apa darinya. Kemungkinan besar Khalid akan terus tergantung pada kami. Dan setelah kami tak sanggup lagi, mungkin pada Fatimah.<br />
<br />
Tapi kami memang tak lagi mengharapkan apapun darinya. Kami hanya mencintainya. Kudorong gerbang rumah dan kuserukan salam. Sahutan riang menyambutku. Pintu terkuak. Fatimah menghambur memelukku sementara abangnya tersenyum lebar sambil berjalan goyah di belakangnya.<br />
<br />
'Ibu bawa apa, bawa apa?' tanya Fatimah. Ia memekik ketika kukeluarkan sekantung mangga ranum dari keranjang belanjaku. Khalid tersenyum. Matanya yang semula kosong berbinar. Mangga adalah buah kesukaannya.<br />
<br />
Aku masuk ke kamar untuk berganti baju setelah berpesan pada pembantu untuk mencuci dan mengupaskan mangga buat anak-anak. Saat aku keluar, mereka tidak berada di meja makan.<br />
<br />
Kupanggil mereka dan kudengar sahutan dari halaman belakang. Di depan kandang burung parkit Fatimah melonjak-lonjak dan tertawa melihat abangnya dengan sabar menyodorkan potongan mangga lewat jeruji bambu. 'Ayo kuning! Jangan diam saja! Tuh diambil si hijau deh!' teriak Fatimah. Satu demi satu burung-burung parkit dalam kandang terbang menyambar potongan mangga dari tangan Khalid. Aku bertasbih. Mataku pedih. Sudah lama aku mengamati keistimewaan Khalid untuk mencintai dengan keikhlasan yang bersih dari egoisme anak seusianya. Cintanya sangat tulus pada burung-burung kesayangan suamiku, pada ikan hias dan ayam kate yang kami pelihara untuk mengajar anak-anak bertanggung jawab.<br />
<br />
Bahkan pada bunga-bungaku di kebun. Ia gembira mengurus semua itu, walaupun tak pernah mendapat imbalan apapun dari kami. Kelembutannya terulur bahkan pada kucing-kucing liar yang sering diberinya makan atau anak-anak tetangga yang kerap mendapat bagian dari jatah kue dan buahnya tanpa menuntut balasan apapun.<br />
<br />
Aku memang tak punya alasan untuk bersedih dan kecewa. Khalid mungkin tak bisa membaca dan mengaji. Tapi perasaannya halus dan penuh kasih sayang. Dan aku sangat bersyukur atas kelebihannya.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-75654416385521591942010-04-27T18:39:00.000-07:002010-04-27T18:40:24.744-07:00Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita??<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUMu5a3CHWRtQJy5YExexPEPb1YAIbe-_SqTjWr0Fa4rIeTp41_RhjLj-wCSx72L2Adfj3MVAXaj7xeJ40ShXCl_RRC7tzK6m44oPno0Y_pAaVaFUWVFSZXk2X_8_byJKIz0SCjUB5FSE/s1600/4.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUMu5a3CHWRtQJy5YExexPEPb1YAIbe-_SqTjWr0Fa4rIeTp41_RhjLj-wCSx72L2Adfj3MVAXaj7xeJ40ShXCl_RRC7tzK6m44oPno0Y_pAaVaFUWVFSZXk2X_8_byJKIz0SCjUB5FSE/s320/4.jpg" width="241" /></a></div>Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita...<br />
Aku menjadi perempuan yg paling bahagia...<br />
Pernikahan kami sederhana namun meriah...<br />
Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.<br />
Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula.<br />
<br />
Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.<br />
Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu...<br />
Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci...<br />
Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku? sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku.<br />
Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.<br />
<br />
Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.<br />
<br />
Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku<br />
Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.<br />
<br />
Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku?<br />
<br />
Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina-hina oleh mereka?<br />
<br />
Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang janda itu.<br />
<br />
Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al ? Qur?an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.<br />
<br />
Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur suamiku.<br />
<br />
Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.<br />
<br />
Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan, ?Assalammu?alaikum? dan mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup.<br />
<br />
Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata ?Assalammu?alaikum?, ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.<br />
<br />
Lalu.. Ibu nya berbicara denganku, "Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri"<br />
<br />
Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.<br />
<br />
Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Kemudian aku pun menemaninya.<br />
<br />
Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, "lebih baik kau pulang saja, ada kami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja."<br />
<br />
Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama. Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.<br />
<br />
Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.<br />
<br />
Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain.<br />
------------------------------------------------------------------------------------------------<br />
Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.<br />
<br />
Aku bertanya, "Ada apa kamu memanggilku?"<br />
Ia berkata, "Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang"<br />
<br />
Aku menjawab, "Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?"<br />
<br />
"Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku", jawabnya tegas.<br />
<br />
"Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?", tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.<br />
<br />
"Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti", jawabnya tegas.<br />
<br />
"Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?", lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya.<br />
<br />
Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.<br />
<br />
Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku.<br />
<br />
Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.<br />
<br />
Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.<br />
<br />
Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.<br />
<br />
Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi.<br />
<br />
Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.<br />
<br />
Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.<br />
<br />
Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.<br />
<br />
Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.<br />
<br />
Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3.<br />
<br />
Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..<br />
<br />
Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.<br />
<br />
Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, ?kapankah ia segera pulang?? aku tak tahu..<br />
<br />
Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku..<br />
<br />
Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang.<br />
<br />
Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung?<br />
<br />
Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk.<br />
<br />
Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.<br />
<br />
Ia menulis, ?aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku akan kabarin lagi?.<br />
<br />
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.<br />
<br />
Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.<br />
<br />
Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami.<br />
<br />
Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..<br />
<br />
Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku..<br />
<br />
Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.<br />
<br />
Biasa nya kami selalu berjama?ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka?at.<br />
<br />
Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.<br />
<br />
Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?<br />
<br />
Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuakudan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, ?Loe pikir aja sendiri!!!?. Telpon pun langsung terputus.<br />
<br />
Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.<br />
<br />
Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah.<br />
<br />
Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang.<br />
<br />
Aku hanya berdo?a semoga suamiku sadar akan prilakunya.<br />
<br />
Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.<br />
<br />
Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.<br />
<br />
Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.<br />
<br />
Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.<br />
<br />
?Ya, ada apa Yah!? sahutku dengan memanggil nama kesayangannya ?Ayah?.<br />
<br />
?Lusa kita siap-siap ke Sabang ya.? Jawabnya tegas.<br />
<br />
?Ada apa? Mengapa??, sahutku penuh dengan keheranan.<br />
<br />
Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.<br />
<br />
Dia mengatakan ?Kau ikut saja jangan banyak tanya!!?<br />
<br />
Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.<br />
<br />
Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.<br />
<br />
Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku..<br />
<br />
Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini..<br />
<br />
Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.<br />
<br />
Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.<br />
<br />
Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya.<br />
<br />
Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.<br />
<br />
?Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha?. Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.<br />
<br />
?Ada apa ya Nek?? sahutku dengan penuh tanya..<br />
<br />
Nenek pun menjawab, ?Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!!?.<br />
<br />
Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?<br />
<br />
?Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.? Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.<br />
<br />
Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.<br />
<br />
?Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya?, neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.<br />
<br />
Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu.<br />
<br />
Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, ?kau maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan??<br />
<br />
MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..<br />
<br />
Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau<br />
kayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.<br />
<br />
?Fish, jawab!.? Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.<br />
<br />
Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.<br />
<br />
?Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.?<br />
<br />
Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.<br />
<br />
Aku lalu bertanya kepada suamiku, ?Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah??<br />
<br />
Suamiku menjawab, ?Dia Desi!?<br />
<br />
Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, ?Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.?<br />
<br />
Ayah mertuaku menjawab, ?Pernikahannya 2 minggu lagi.?<br />
<br />
?Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok?, setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.<br />
<br />
Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya penyakitku..<br />
<br />
Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?<br />
<br />
Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, ?sudah tidak cantikkah aku ini??<br />
<br />
Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.<br />
<br />
Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu.<br />
<br />
Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, ?terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.?<br />
<br />
Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo.<br />
<br />
Dalam hatiku bertanya, ?mengapa ia sangat cuek?? dan ia sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata, ?sudah malam, kita istirahat yuk!?<br />
<br />
?Aku sholat isya dulu baru aku tidur?, jawabku tenang.<br />
<br />
Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku.<br />
<br />
Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu.<br />
<br />
Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.<br />
<br />
Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Aku<br />
save di mydocument yang bertitle ?Aku Mencintaimu Suamiku.?<br />
<br />
Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.<br />
<br />
?Apakah kamu sudah siap??<br />
<br />
Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :<br />
<br />
?Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do?a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..?, perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.<br />
<br />
Tiba-tiba suamiku menjawab ?Lalu apa Bunda??<br />
<br />
Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar?<br />
<br />
?Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan??, pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.<br />
<br />
Dia mengangguk dan berkata, ?Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda??, sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.<br />
<br />
Dia tersenyum sambil berkata, ?Kita liat saja nanti ya!?. Dia memelukku dan berkata, ?bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama?.<br />
<br />
Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, ?Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah.? Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata, ?Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah?.<br />
<br />
Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.<br />
<br />
Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, ?bunda baik-baik saja kan?? tanyanya dengan penuh khawatir.<br />
<br />
Aku pun menjawab, ?bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang?. Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.<br />
<br />
Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.<br />
<br />
Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan, ?Ayah jangan!!?, tapi aku ingat akan kondisiku.<br />
<br />
Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya? aku kuat.<br />
<br />
Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. hatiku menangis.<br />
<br />
Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini?<br />
<br />
Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang di musuhi.<br />
<br />
Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana.<br />
<br />
Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.<br />
<br />
?Kamu datang ke sini, aku pun tahu?, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, ?maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku?<br />
<br />
Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini..<br />
<br />
Suamiku berbisik, ?Bunda kok kurus??<br />
<br />
Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.<br />
<br />
Aku pun berkata, ?Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi??<br />
<br />
?Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois.? Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.<br />
<br />
Lalu suamiku berkata, ?Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat ?seperti itu? dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (?seperti itu?). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda?<br />
<br />
Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.<br />
<br />
Aku hanya menjawab, ?Aku sudah ceritakan itu kan Yah. Aku tidak pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu.?<br />
<br />
Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga.<br />
<br />
Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.<br />
<br />
Keesokan harinya?<br />
<br />
Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.<br />
<br />
Aku pun dilarikan ke rumah sakit..<br />
<br />
Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..<br />
<br />
Aku merasakan tanganku basah..<br />
<br />
Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.<br />
<br />
Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, ?Bunda, Ayah minta maaf??<br />
<br />
Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?<br />
<br />
Aku berkata dengan suara yang lirih, ?Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..?<br />
<br />
?Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah? !!! Bunda sayang banget sama Ayah.?<br />
<br />
Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.<br />
<br />
Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.<br />
<br />
Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..<br />
<br />
Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..<br />
<br />
Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.<br />
<br />
Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.<br />
<br />
Untuk Ibu mertuaku : ?Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo?a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya.?<br />
<br />
Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.<br />
<br />
Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku?<br />
Aku dihina oleh mereka ayah.<br />
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?<br />
Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah..<br />
Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah?<br />
<br />
Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah..<br />
<br />
Aku diusir dari rumah sakit.<br />
Aku tak boleh merawat suamiku.<br />
<br />
Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.<br />
Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku.<br />
<br />
Aku sangat marah..<br />
<br />
Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan ibunya..<br />
<br />
Aku tak mau sakit hati lagi.<br />
Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku..<br />
<br />
Engkau Maha Adil..<br />
Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..<br />
<br />
Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku..<br />
Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu..<br />
Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..<br />
<br />
Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku..<br />
Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah..<br />
<br />
Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu.<br />
Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui.<br />
<br />
Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.<br />
Aku harus sadar diri.<br />
<br />
Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.<br />
Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?<br />
<br />
Ayah.. aku masih tak rela.<br />
Tapi aku harus ikhlas menerimanya.<br />
<br />
Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.<br />
Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.<br />
<br />
Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir.<br />
Sebelum ajal ini menjemputku.<br />
<br />
Ayah.. aku kangen ayah..<br />
<br />
<br />
Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..<br />
<br />
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.<br />
<br />
Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.<br />
<br />
Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.<br />
<br />
Bunda akan selalu hidup dihati ayah.<br />
<br />
Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..<br />
<br />
Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.<br />
<br />
Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu..<br />
<br />
Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus.<br />
<br />
Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..<br />
<br />
Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.<br />
<br />
Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..<br />
<br />
Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang.<br />
<br />
Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.<br />
<br />
Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?<br />
<br />
Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?<br />
<br />
Tunggulah Ayah disana Bunda..<br />
<br />
Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..<br />
<br />
Ayah Sayang Bunda..Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-14414508143378377582010-04-25T00:21:00.000-07:002010-04-25T00:21:19.703-07:00Rasulullah dan Burung<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijf8nyVASeVrzEm6pmEpB-dExu4pSXaHTMKPKIUWvzqIKX3uuKa4lz9waJNhOvcfs42vWdaqY_GgNnH9xX5dRMuHLYtq1w1IWrpZWoq6_OPrmL2-Ns45XnrtISTMJ96u_Gu-pDvuyU9rg/s1600/Rainbow-flower.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijf8nyVASeVrzEm6pmEpB-dExu4pSXaHTMKPKIUWvzqIKX3uuKa4lz9waJNhOvcfs42vWdaqY_GgNnH9xX5dRMuHLYtq1w1IWrpZWoq6_OPrmL2-Ns45XnrtISTMJ96u_Gu-pDvuyU9rg/s320/Rainbow-flower.jpg" /></a></div>“Tiba-tiba seorang lelaki mendatangi kami,” kata Amir Ar-Raam. Lelaki itu dengan kain di atas kepadanya dan di tangannya terdapat sesuatu yang ia genggam.<br />
<br />
Lelaki itu berkata, “Ya Rasulullah, saya segera mendatangimu saat melihatmu. Ketika berjalan di bawah pepohonan yang rimbun, saya mendengar kicauan anak burung, saya ...segera mengambilnya dan meletakkannya di dalam pakaianku. Tiba-tiba induknya datang dan segera terbang berputar di atas kepalaku. Saya lalu menyingkap kain yang menutupi anak-anak burung itu, induknya segera mendatangi anak-anaknya di dalam pakaianku, sehingga mereka sekarang ada bersamaku.”<br />
<br />
Rasulullah saw. berkata kepada lekaki itu, “Letakkan mereka.”<br />
<br />
Kemudian anak-anak burung itu diletakan. Namun, induknya enggan meninggalkan anak-anaknya dan tetap menemani mereka.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
“Apakah kalian heran menyaksikan kasih sayang induk burung itu terhadap anak-anaknya?” tanya Rasulullah saw. kepada para sahabat yang ada waktu itu.<br />
<br />
“Benar, ya Rasulullah,” jawab para sahabat.<br />
<br />
“Ketahuilah,” kata Rasulullah saw. “Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, sesungguhnya Allah lebih penyayang terhadap hamba-hamba-Nya melebihi induk burung itu kepada anak-anaknya.”<br />
<br />
“Kembalikanlah burung-burung itu ke tempat di mana engkau menemukannya, bersama dengan induknya,” perintah Rasulullah. Lelaki yang menemukan burung itupun segera mengembalikan burung-burung itu ke tempat semula.<br />
<br />
Begitulah Akhlak terhadap hewan yang diajarkan Rasulullah saw. Bahkan, membunuh hewan tanpa alasan yang hak, Rasulullah menggolongkan suatu kezhaliman. Kabar ini datang dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang membunuh seekor burung tanpa hak, niscaya Allah akan menanyakannya pada hari Kiamat.”<br />
<br />
Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, apakah hak burung tersebut?”<br />
<br />
Beliau menjawab, “Menyembelihnya, dan tidak mengambil lehernya lalu mematahkannya.” (HR. Ahmad, hadits nomor 6264)<br />
<br />
Jika kepada hewan saja kita memenuhi hak-haknya, apalagi kepada manusia. Adakah hak-hak orang lain yang belum kita tunaikan?<br />
<br />
http://wirausahapesantren.blogspot.com/2010/04/onta-itu-mengadu-kepada-rasulullah.htmlUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-24426115128485999922010-04-25T00:11:00.000-07:002010-04-25T00:11:49.491-07:00Gadis Cerdas - Gadis Impian<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpTzxPpkUrpDtHiQQIuRbV9MD577r5nNPhuKRh98NM03vcRmT5KvME_KWXCke1RsRD4UhLd4rnNjUAswLiy6zVE65_iVCvHlA144NhDd_laE6AZAP7q6y1tP7sa8ve17KTBLF44n1qn70/s1600/a.JPG" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpTzxPpkUrpDtHiQQIuRbV9MD577r5nNPhuKRh98NM03vcRmT5KvME_KWXCke1RsRD4UhLd4rnNjUAswLiy6zVE65_iVCvHlA144NhDd_laE6AZAP7q6y1tP7sa8ve17KTBLF44n1qn70/s320/a.JPG" /></a></div>ADA SEORANG pemuda Arab yang tampan, shalih, dan sangat cerdas. Dia ingin menikah dengan seorang gadis shalihah dan cerdas seperti dirinya. Maka, mulailah dia mengembara dari satu kabilah ke kabilah lain, untuk mencari gadis impiannya.<br />
<br />
Suatu ketika, dia berjalan menuju kabilah di Yaman. Di tengah perjalanan, dia berjumpa dengan seorang lelaki. Akhirnya, dia berjalan bersama leleki itu.<br />
Pemuda itu menyapa, “Hai Tuan, apakah kau bisa membawaku dan aku membawamu?”<br />
Spontan lelaki itu menjawab, “Hai bodoh, kau ini bagaimana? Aku menunggang kuda kau juga menunggang kuda. Bagaimana kita bisa saling membawa?”<br />
Pemuda itu diam saja mendengar jawaban lelaki itu.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan. Lalu, mereka melewati sebuah kampung. Kampung itu yang dikelilingi oleh kebun yang sudah tiba masa panennya.<br />
Pemuda itu bertanya, “Menurutmu, buah-buahan itu sudah dimakan oleh pemiliknya, atau belum ya?”<br />
Seketika, lelaki itu menjawab, “Pertanyaan itu aneh sekali! Kamu sendiri melihat dengan mata kepalamu, buah-buahan itu masih ada di pohonnya dan belum di panen, kok kamu bertanya, apakah buah-buahan itu sudah di makan oleh pemiliknya atau belum?”<br />
Pemuda itu hanya diam dan tidak menjawab perkataan lelaki itu.<br />
Kemudian, keduanya melanjutkan perjalanan. Baru sebentar berjalan, mereka bertemu dengan orang-orang yang sedang mengiring jenazah.<br />
<br />
Pemuda itu berkata, “Menurutmu yang diiring dalam keranda itu masih hidup atau sudah mati, ya?”<br />
Lelaki itu menjawab, “Aku semakin tidak paham denganmu. Aku tidak pernah menemukan pemuda yang lebih bodoh darimu. Ya, jelas! Jenazah itu akan dibawa untuk dikuburkan. Tentu dia sudah mati.”<br />
Pemuda itu kembali diam dan tidak menjawab sepatah kata pun atas komentar lelaki itu. Akhirnya, keduanya sampai di rumah lelaki itu. Dia mengajak pemuda itu menginap di rumahnya. Dia merasa kasihan, sebab pemuda itu terlihat sudah sangat letih.<br />
Lelaki itu memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik. Begitu tahu ada seorang tamu menginap, anak gadisnya bertanya, “Ayah siapa dia?”. “Dia itu pemuda yang paling bodoh yang pernah aku temukan,”jawab ayahnya. Anak gadis itu malah penasaran. Dia mengejar dengan pertanyaan berikutnya, “Bodoh bagaimana?”<br />
Ayahnya langsung menceritakan awal pertemuannya dengan pemuda itu dan segala perkataan serta pertanyaannya.<br />
<br />
Mendengar cerita ayahnya, anak gadis itu berkata,”Ayah ini bagaimana? Dia itu tidak bodoh. Justru dia sangat cerdas dan pandai. Kata-katanya mengandung makna tersirat. Ketika dia mengatakan, ’Apakah kau bisa membawaku dan aku membawamu?’, sebenarnya maksudnya adalah, ’Apakah kita bisa saling berbincang-bincang sehingga bisa membawa kita pada suasana yang lebih akrab?’ Ketika dia mengatakan,’ Buah-buahan itu sudah dimakan oleh pemiliknya atau belum?’ Ia memaksudkan, ’Apakah pemiliknya sudah menjualnya ketika sebelum di panen, atau belum?’ Sebab, jika telah menjualnya, pemiliknya tentu menerima uangnya dan membelanjakannya untuk makan dia dan keluarganya. Kemudian, ketika dia bertanya,’Apakah jenazah di dalam keranda itu masih hidup atau sudah mati?’ Maksudnya,’Apakah jenazah itu memiliki anak yang bisa melanjutkan perjuangannya atau tidak?’<br />
<br />
Setelah mendengar apa yang dikatakan putrinya, lelaki itu keluar menemui pemuda itu. Dia meminta maaf atas perkataannya yang membodoh-bodohkan pemuda itu. Keduanya berbincang-bincang.<br />
Lalu dia menjelaskan seperti yang dikatakan putrinya.<br />
Mendengar itu, sang pemuda bertanya, “Saya yakin itu bukan lahir dari pikiranmu sendiri dan bukan perkataanmu, demi Allah, katakanlah padaku siapa yang mengatakannya?”<br />
Yang mengatakan hal itu adalah putriku, “jawab lelaki itu.<br />
Spontan pemuda itu berkata, “Apakah kau mau menikahkan aku dengan putrimu?”<br />
“Ya.”<br />
Begitulah, setelah melalui pengembaraan panjang, akhirnya pemuda itu menemukan pandamping hidup yang dia impikan.<br />
Sumber: Ketika Cinta berbuah SurgaUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-4475280675261832592010-04-24T01:35:00.000-07:002010-04-24T01:44:47.095-07:00Unta itu mengadu pada Rasulullah<h3 class="UIIntentionalStory_Message" data-ft="{"type":"msg"}" style="font-weight: normal;"><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5hxlLTp3WFvwumSNxIoEJf98yG5eALuv_sIDT_c_G5C2xGqWy4-nYQnOo7x0_J1Wp_-OhcFoIlai7YEfqLAT1aE2yuqy4AA2s1Tj_P8oFa5Of6C8XljA7VGERIb71W3xWLv4KCkD1WgM/s1600/100001_l.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5hxlLTp3WFvwumSNxIoEJf98yG5eALuv_sIDT_c_G5C2xGqWy4-nYQnOo7x0_J1Wp_-OhcFoIlai7YEfqLAT1aE2yuqy4AA2s1Tj_P8oFa5Of6C8XljA7VGERIb71W3xWLv4KCkD1WgM/s320/100001_l.jpg" /></a></span></div></h3><h3 class="UIIntentionalStory_Message" data-ft="{"type":"msg"}" style="font-weight: normal;"><span class="UIStory_Message" style="font-size: small;">Suatu hari untuk suatu tujuan Rasulullah keluar rumah dengan menunggangi untanya. Abdullah bin Ja’far ikut membonceng di belakang. Ketika mereka sampai di pagar salah salah seorang kalangan Anshar, tiba-tiba terdengar lenguhan seekor unta.<br />
<br />
Unta itu menjulurkan lehernya ke arah Rasulullah saw. Ia merintih. Air matanya ja...tuh berderai. Rasulullah saw. mendatanginya. Beliau mengusap belakang telinga unta itu. Unta itu pun tenang. Diam.<br />
<br />
Kemudian dengan wajah penuh kemarahan, Rasulullah saw. bertanya, “Siapakah pemilik unta ini, siapakah pemilik unta ini?”</span></h3><h3 class="UIIntentionalStory_Message" data-ft="{"type":"msg"}" style="font-weight: normal;"><span class="UIStory_Message" style="font-size: small;"><a name='more'></a><br />
Pemiliknya pun bergegas datang. Ternyata, ia seorang pemuda Anshar.<br />
<br />
“Itu adalah milikku, ya Rasulullah,” katanya.<br />
<br />
Rasulullah saw. berkata, “Tidakkah engkau takut kepada Allah karena unta yang Allah peruntukkan kepadamu ini? Ketahuilah, ia telah mengadukan nasibnya kepadaku, bahwa engkau membuatnya kelaparan dan kelelahan.”<br />
<br />
Subhanallah! Unta itu ternyata mengadu kepada Rasulullah saw. bahwa tuannya tidak memberinya makan yang cukup sementara tenaganya diperas habis dengan pekerjaan yang sangat berat. Kisah ini bersumber dari hadits nomor 2186 yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Kitab Jihad.<br />
<br />
Bagaimana jika yang mengadu adalah seorang pekerja yang gajinya tidak dibayar sehingga tidak bisa membeli makanan untuk keluarganya, sementara tenaganya sudah habis dipakai oleh orang yang mempekerjakannya? Pasti Rasulullah saw. lebih murka lagi.<br />
</span></h3><h3 class="UIIntentionalStory_Message" data-ft="{"type":"msg"}" style="font-weight: normal;"><span class="UIStory_Message" style="font-size: small;"> </span><br />
</h3>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-67243125637331781642010-04-22T20:47:00.000-07:002010-04-22T20:47:18.361-07:00Anak Kecil & Waktu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3MrFymxJ3Qg60dNR7gs3CKrIE3FurStpd_kVltJY9QXruDkzQ3ff-q8t-oOmsveIMQQtf6oM9cVXBANu9Ka6sDkYeJul59N7vcxH8ch33L6ToTqJtVUwPcNJt0uypUNgwKGziVAazbYE/s1600/n1672999080_7995.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3MrFymxJ3Qg60dNR7gs3CKrIE3FurStpd_kVltJY9QXruDkzQ3ff-q8t-oOmsveIMQQtf6oM9cVXBANu9Ka6sDkYeJul59N7vcxH8ch33L6ToTqJtVUwPcNJt0uypUNgwKGziVAazbYE/s320/n1672999080_7995.jpg" /></a></div>Seperti biasa Rudi, kepala cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.<br />
<br />
“Kok, belum tidur?” sapa Rudi sambil mencium anaknya.<br />
<br />
Biasanya, Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.<br />
<br />
Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Imron menjawab, “Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?”<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
“Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?”<br />
<br />
“Ah, enggak. Pengen tahu aja.”<br />
<br />
“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja, Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”<br />
<br />
Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.<br />
<br />
“Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong,” katanya.<br />
<br />
“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,” perintah Rudi.<br />
<br />
Tetapi Imron tak beranjak.<br />
<br />
Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, “Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?”<br />
<br />
“Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah.”<br />
<br />
“Tapi, Ayah…” Kesabaran Rudi habis.<br />
<br />
“Ayah bilang tidur!” hardiknya mengejutkan Imron.<br />
<br />
Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya, Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.<br />
<br />
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, “Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok’ kan bisa. Jangankan Rp 5.000 ,- lebih dari itu pun ayah kasih.”<br />
<br />
“Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini.”<br />
<br />
“Iya, iya, tapi buat apa?” tanya Rudi lembut.<br />
<br />
“Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-, maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-. Makanya aku mau pinjam dari Ayah,” kata Imron polos.<br />
<br />
Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1997799318238987426.post-6572766537212180662010-04-21T20:35:00.000-07:002010-04-21T20:35:08.526-07:002 Manusia Super di Jembatan Setiabudi (copas dari email)<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1lxiuC48gwLBBP9e5x7cHzWDkATDvNBnxn7Z3mU8r6fnFTBviHjqmwsfTbyUQ7ZmmIqeC_bJFCkG3iaxo5qwqRqDf6eduXBCN97hruzkZsT5vE5F9WkGzD50JJ_Xk0WGehnAbIyVzCCo/s1600/q.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1lxiuC48gwLBBP9e5x7cHzWDkATDvNBnxn7Z3mU8r6fnFTBviHjqmwsfTbyUQ7ZmmIqeC_bJFCkG3iaxo5qwqRqDf6eduXBCN97hruzkZsT5vE5F9WkGzD50JJ_Xk0WGehnAbIyVzCCo/s320/q.jpg" /></a></div><div style="text-align: justify;"><span>pasted from an old email i found in my inbox... credit to mba grahanita herwina.. ;)<br />
a meaningful story by an unknown author..<br />
-------------------------------<br />
Tanpa disadari terkadang sikap apatis menyertai saat langkah kaki mengarungi tuk coba taklukkan ibukota negri ini. Semoga kita selalu diingatkan.<br />
<br />
<br />
Sekedar berbagi cerita di forum orang orang super dalam keindahan hari ini :<br />
<a name='more'></a><br />
Siang ini February 6, 2008 , tanpa sengaja ,saya bertemu dua manusia super.<br />
Mereka mahluk mahluk kecil , kurus ,kumal berbasuh keringat. Tepatnya diatas jembatan penyeberangan setia budi , dua sosok kecil berumur kira kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue diujung jembatan , dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan "Terima kasih Oom !". Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan Cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk kearah mereka.<br />
<br />
Kaki - kaki kecil mereka menjelajah lajur lain diatas jembatan , menyapa seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki laki itupun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi lagi sayup sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka.. Kantong hitam tampat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok disudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta .. Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu , duapertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan .<br />
<br />
Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita , senyum diwajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang manggayut langit Jakarta .<br />
<br />
" Terima kasih ya mbak .semuanya dua ribu lima ratus rupiah!" tukas mereka , tak lama siwanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah .<br />
<br />
" Maaf , nggak ada kembaliannya ..ada uang pas nggak mbak ? " mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.<br />
<br />
" Oom boleh tukar uang nggak , receh sepuluh ribuan ?" suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka . sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food<br />
court sebesar empat ribu rupiah .<br />
<br />
" Nggak punya , tukas saya !" lalu tak lama siwanita berkata " ambil saja kembaliannya , dik !" sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya kearah ujung sebelah timur.<br />
<br />
Anak ini terkesiap , ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti , lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Siwanita kaget , setengah berteriak ia bilang " sudah buat kamu saja , nggak apa..apa ambil saja !", namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. " maaf mbak , Cuma ada empat ribu , nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !" Akhirnya uang itu diterima siwanita karena sikecil pergi meninggalkannya.<br />
<br />
Tinggallah episode saya dan mereka , uang sepuluh ribu digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya . mereka menghampiri saya dan berujar " Om, bisa tunggu ya , saya kebawah dulu untuk tukar uang ketukang ojek !".<br />
<br />
" eeh .nggak usah ..nggak usah ..biar aja ..nih !" saya kasih uang itu ke sikecil, ia menerimanya tapi terus berlari kebawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek.<br />
<br />
Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya ,"Nanti dulu Om , biar ditukar dulu ...sebentar "<br />
<br />
" Nggak apa apa , itu buat kalian " Lanjut saya<br />
<br />
" jangan ..jangan Om , itu uang om sama mbak yang tadi juga " anak itu bersikeras<br />
<br />
" Sudah ..saya Ikhlas , mbak tadi juga pasti ikhlas ! saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari keujung jembatan<br />
berteriak memanggil temannya untuk segera cepat , secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari kearah saya.<br />
<br />
" Ini deh om , kalau kelamaan , maaf .." ia memberi saya delapan pack tissue<br />
<br />
" Buat apa ?" saya terbengong<br />
<br />
" Habis teman saya lama sih Om , maaf , tukar pakai tissue aja dulu " walau dikembalikan ia tetap menolak .<br />
<br />
Saya tatap wajahnya , perasaan bersalah muncul pada rona mukanya . Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastic hitam tissuenya ..</span></div><div style="text-align: justify;"><span>Beberapa saat saya mematung di sana , sampai sikecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu , dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah.<br />
<br />
"Terima kasih Om , !"..mereka kembali keujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan " Duit mbak tadi gimana ..? " suara kecil yang lain menyahut " lu hafal kan orangnya , kali aja ketemu lagi ntar kita<br />
kasihin ...." percakapan itu sayup sayup menghilang , saya terhenyak dan kembali kekantor dengan seribu perasaan.<br />
<br />
Tuhan ..Hari ini saya belajar dari dua manusia super , kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh , mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra , mereka tahu hak mereka dan hak orang lain , mereka berusaha tak meminta minta dengan berdagang Tissue<br />
..<br />
Dua anak kecil yang bahkan belum baligh , memiliki kemuliaan diumur mereka yang begitu belia. </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span>YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO<br />
<br />
Engkau hanya semulia yang kau kerjakan.<br />
<br />
MT<br />
<br />
Saya membandingkan keserakahan kita , yang tak pernah ingin sedikitpun berkurang rizki kita meski dalam rizki itu sebetulnya ada milik orang lain .<br />
<br />
"Usia memang tidak menjamin kita menjadi Bijaksana , kitalah yang memilih untuk menjadi bijaksana atau tidak"<br />
<br />
Semoga pengalaman nyata ini mampu menggugah saya dan teman lainnya untuk lebih SUPER.</span></div>Unknownnoreply@blogger.com0