Rabu, 24 Maret 2010
Perempuan oh perempuan! Pengalaman bathin para pahlawan dengan mereka ternyata jauh lebih rumit dari yang kita bayangkan. Apa yang terjadi, misalnya jika kenangan cinta hadir kembali di jalan pertaubatan seorang pahlawan? Keagungan!
Itulah, misalnya, pengalaman bathin Umar bin Abdul Aziz. Sebenarnya Umar seorang ulama, bahkan seorang mujtahid. Tapi ia dibesarkan di lingkungan istana Bani Umayyah, hidup dengan gaya hidup mereka, bukan gaya hidup seorang ulama. Ia bahkan menjadi trendsetter di lingkungan keluarga kerajaan. Shalat jamaah kadang ditunda karena ia masih sedang menyisir rambutnya.
Tapi, begitu ia menjadi khalifah, tiba-tiba kesadaran spiritualnya justru tumbuh mendadak pada detik inagurasi nya. Iapun bertaubat. Sejak itu ia bertekad untuk berubah dan merubah dinasti Bani Umayyah. Aku takut pada neraka katanya menjelaskan rahasia perubahan itu kepada seorang ulama terbesar zamannya, pionir kodifikasi hadits, yang duduk di sampingnya, Al Zuhri.
Ia memulai perubahan besar itu dari dari dalam dirinya sendiri, istri, anak-anaknya, keluarga kerajaan, hingga seluruh rakyatnya. Kerja keras ini membuahkan hasil; walaupun hanya memerintah dalam 2 tahun 5 bulan, tapi ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan zaman Khulafa Rasyidin. Maka iapun digelari Khalifah Rasyidin kelima.
Tapi itu ada harganya. Fisiknya segera anjlok. Saat itulah istrinya datang membawa kejutan besar; menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahinya (lagi).
Ironis, karena Umar sudah lama mencintai dan sangat menginginkan gadis itu, juga sebaliknya. Tapi istrinya, Fatimah, tidak pernah mengizinkannya; atas nama cinta dan cemburu. Sekarang justru sang istrilah yang membawanya sebagai hadiah. Fatimah hanya ingin memberikan dukungan moril kepada suaminya.
Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu- biru. Kenangan romantika sebelum saat perubahan bangkit kembali, dan menyalakan api cinta yang dulu pernah membakar segenap jiwanya. Tapi saat cinta ini hadir di jalan pertaubatannya, ketika cita-cita perubahannya belum selesai.
Cinta dan cita bertemu atau bertarung, di sini, di pelataran hati Sang Khalifah, Sang Pembaru. Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tidak ada! Tapi, Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya masih harus kembali ke dunia perasaan semacam ini, Kata Umar.
Cinta yang terbelah dan tersublimasi diantara kesadaran psiko-spiritual, berujung dengan keagungan; Umar memenangkan cinta yang lain, karena memang ada cinta di atas cinta!
Akhirnya ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain. Tidak ada cinta yang mati di sini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu
bertanya dengan sendu, Umar, dulu kamu pernah sangat mencintaiku. Tapi kemanakah cinta itu sekarang? Umar bergetar haru, tapi ia kemudian menjawab, Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam!
M Anis Matta Lc.
Sumber : Tarbawi 55/4/Muharram 1424H
Itulah, misalnya, pengalaman bathin Umar bin Abdul Aziz. Sebenarnya Umar seorang ulama, bahkan seorang mujtahid. Tapi ia dibesarkan di lingkungan istana Bani Umayyah, hidup dengan gaya hidup mereka, bukan gaya hidup seorang ulama. Ia bahkan menjadi trendsetter di lingkungan keluarga kerajaan. Shalat jamaah kadang ditunda karena ia masih sedang menyisir rambutnya.
Tapi, begitu ia menjadi khalifah, tiba-tiba kesadaran spiritualnya justru tumbuh mendadak pada detik inagurasi nya. Iapun bertaubat. Sejak itu ia bertekad untuk berubah dan merubah dinasti Bani Umayyah. Aku takut pada neraka katanya menjelaskan rahasia perubahan itu kepada seorang ulama terbesar zamannya, pionir kodifikasi hadits, yang duduk di sampingnya, Al Zuhri.
Ia memulai perubahan besar itu dari dari dalam dirinya sendiri, istri, anak-anaknya, keluarga kerajaan, hingga seluruh rakyatnya. Kerja keras ini membuahkan hasil; walaupun hanya memerintah dalam 2 tahun 5 bulan, tapi ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan zaman Khulafa Rasyidin. Maka iapun digelari Khalifah Rasyidin kelima.
Tapi itu ada harganya. Fisiknya segera anjlok. Saat itulah istrinya datang membawa kejutan besar; menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahinya (lagi).
Ironis, karena Umar sudah lama mencintai dan sangat menginginkan gadis itu, juga sebaliknya. Tapi istrinya, Fatimah, tidak pernah mengizinkannya; atas nama cinta dan cemburu. Sekarang justru sang istrilah yang membawanya sebagai hadiah. Fatimah hanya ingin memberikan dukungan moril kepada suaminya.
Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu- biru. Kenangan romantika sebelum saat perubahan bangkit kembali, dan menyalakan api cinta yang dulu pernah membakar segenap jiwanya. Tapi saat cinta ini hadir di jalan pertaubatannya, ketika cita-cita perubahannya belum selesai.
Cinta dan cita bertemu atau bertarung, di sini, di pelataran hati Sang Khalifah, Sang Pembaru. Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tidak ada! Tapi, Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya masih harus kembali ke dunia perasaan semacam ini, Kata Umar.
Cinta yang terbelah dan tersublimasi diantara kesadaran psiko-spiritual, berujung dengan keagungan; Umar memenangkan cinta yang lain, karena memang ada cinta di atas cinta!
Akhirnya ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain. Tidak ada cinta yang mati di sini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu
bertanya dengan sendu, Umar, dulu kamu pernah sangat mencintaiku. Tapi kemanakah cinta itu sekarang? Umar bergetar haru, tapi ia kemudian menjawab, Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam!
M Anis Matta Lc.
Sumber : Tarbawi 55/4/Muharram 1424H
Rintik: Aishiteru
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)