Minggu, 14 Maret 2010
Dia bukanlah bagian dari hidupku, tidak pernah walau sedetikpun. Mengenalnya pun tidak. Dia hanyalah seseorang yang selalu duduk di tempat duduk yang sama, gerbong yang sama, kereta yang sama. Kereta yang selalu kunaiki setiap pagi bila akan berangkat ke kantor.
Sebelumnya aku tak pernah menyadari dia ada, hingga aku bertatap pandang dengannya dan senyumnya yang menawan tersungging di bibirnya. Hari-hari berikutnya aku semakin sering melihatnya. Dia selalu membawa buku sketsa dan pensil yang sama, yang kian hari kian memendek. Dia selalu terlihat asyik melukis, sambil sesekali membubuhkan remah roti diatas buku sketsanya, dan sesekali melihat sekeliling.
Wajahnya selalu pucat, tapi tertutupi oleh ketampanannya. Sudah lima minggu aku selalu memperhatikannya, melihatnya melukis. Aku ingin mengenalnya, tapi tertahan oleh kodrat wanita yang hanya menunggu. Sedangkan dia juga hanya mencuri pandang, dan bila tiba-tiba kami saling bertatapan, kami tersenyum.
Yang membuatku terkejut adalah sikapnya kemarin. Tak kusangka-sangka dia berjalan ke arahku. Tapi kereta sudah berhenti di stasiun di dekat kantorku. Aku cepat-cepat turun. Dia berusaha mengejarku, tapi stasiun terlalu ramai.
Pagi ini aku bangun agak siang. Aku memaki diriku sendiri. Bagaimana aku bisa bertemu dengannya kalau aku tidak bisa menghargai waktu? Dugaanku benar, dia tidak ada di tempat biasanya dia duduk. Dia pasti naik kereta yang sebelumnya. Hari itu aku tidak bersemangat bekerja.
* * *
Sudah dua minggu aku tidak melihatnya lagi duduk di tempat yang biasanya. Padahal sejak hari aku bangun kesiangan itu, aku selalu berangkat ke stasiun lebih pagi. Mungkin dia tidak menyukai orang yang tidak menghargai waktu, sehingga dia tidak mau menemuiku lagi.
Seperti pagi ini, aku tidak melihatnya duduk di kursinya. Aku berjalan pelan ke kursinya, dan duduk disitu. Belum lama aku duduk, seseorang memegang bahuku. Aku kaget, spontan aku berdiri dan menghadap ke orang yang memegang bahuku. Belum sempat kukeluarkan satu hurufpun, ketika lelaki itu bicara dengan lembut dan sopan.
“Non, Tuan yang biasa duduk di tempat duduk ini, meinitipkan amplop ini untuk Nona. Mari ikut saya.” Seperti tersihir, aku menurut saja tanpa bertanya lagi. Aku keluar kereta itu, mengikuti lelaki tadi. Dia membuka pintu sebuah mobil mewah dan mempersilakan aku masuk. “Saya akan antar Nona sampai tempat kerja.”
“Tuan meminta Nona membuka amplop itu sesampai Nona tiba di tempat kerja.” Selama perjalanan aku hanya diam. Setelah aku turun, lelaki itu berkata lagi, “Silakan dibuka. Akan saya tunggu hingga Nona selesai membacanya. Itu pesan Tuan.” Lalu aku membacanya.
Selamat pagi, bidadariku. Maafkan aku, aku takkan bisa lagi melihat wajahmu yang cantik itu, senyummu yang menarik itu, dan matamu yang berbinar itu. Aku takkan bisa menemuimu, lagi, sampai kapanpun. Fisikku yang lemah dan penyakitku yang kian hari kian menggerogoti tubuhku, membuat dokter memvonisku tidak boleh terlalu capai. Bersama surat ini, kuberikan dua buah lukisan hasil karyaku. Yang berlatar awan adalah bidadari yang kulihat di mimpiku, dan yang berlatar jendela gerbong itu kau. Mirip ya? Aku ingin bisa memilikimu, tapi ternyata aku tak bisa. Aku hanya bisa memandangmu, tapi bagiku itu sudah lebih dari cukup. Sekarang aku harus istirahat total di rumah, karena kondisiku yang makin parah. Maafkan aku, bidadariku. Maafkan aku bila aku selalu memperhatikanmu di kereta walau tak kausadari, bila aku ingin mengenalmu lebih jauh, dan bila mencintaimu begitu dalam karna Allah, sedangkan aku tak mampu lagi walau hanya memandangmu. Terima kasih atas segala yang kau lakukan pada hidupku. Kau telah mengubah segala yang ada di diriku.Demi Allah Aku mencintaimu. Salam, -Bima-
Setelah kubaca, kupandang lelaki setengah baya di hadapanku. Dan tanpa aku bertanya dia berkata, “Tuan berpesan agar amplop ini diserahkan setelah Tuan berpulang. Tuan telah berpulang pagi ini, pukul lima lewat dua puluh menit. Akan dimakamkan nanti pukul sepuluh. Bila Nona berkenan, Tuan ingin Nona untuk tidak masuk kerja hari ini dan melayat ke rumah duka.” Dadaku seperti tertimpa beban beribu-ribu ton.
Kudekap surat itu, kupanjatkan doa untuknya. Air mataku menitik, dan aku berbisik lirih, “Aku juga mencintaimu.” Lalu aku masuk mobil itu lagi. ***
Sebelumnya aku tak pernah menyadari dia ada, hingga aku bertatap pandang dengannya dan senyumnya yang menawan tersungging di bibirnya. Hari-hari berikutnya aku semakin sering melihatnya. Dia selalu membawa buku sketsa dan pensil yang sama, yang kian hari kian memendek. Dia selalu terlihat asyik melukis, sambil sesekali membubuhkan remah roti diatas buku sketsanya, dan sesekali melihat sekeliling.
Wajahnya selalu pucat, tapi tertutupi oleh ketampanannya. Sudah lima minggu aku selalu memperhatikannya, melihatnya melukis. Aku ingin mengenalnya, tapi tertahan oleh kodrat wanita yang hanya menunggu. Sedangkan dia juga hanya mencuri pandang, dan bila tiba-tiba kami saling bertatapan, kami tersenyum.
Yang membuatku terkejut adalah sikapnya kemarin. Tak kusangka-sangka dia berjalan ke arahku. Tapi kereta sudah berhenti di stasiun di dekat kantorku. Aku cepat-cepat turun. Dia berusaha mengejarku, tapi stasiun terlalu ramai.
Pagi ini aku bangun agak siang. Aku memaki diriku sendiri. Bagaimana aku bisa bertemu dengannya kalau aku tidak bisa menghargai waktu? Dugaanku benar, dia tidak ada di tempat biasanya dia duduk. Dia pasti naik kereta yang sebelumnya. Hari itu aku tidak bersemangat bekerja.
* * *
Sudah dua minggu aku tidak melihatnya lagi duduk di tempat yang biasanya. Padahal sejak hari aku bangun kesiangan itu, aku selalu berangkat ke stasiun lebih pagi. Mungkin dia tidak menyukai orang yang tidak menghargai waktu, sehingga dia tidak mau menemuiku lagi.
Seperti pagi ini, aku tidak melihatnya duduk di kursinya. Aku berjalan pelan ke kursinya, dan duduk disitu. Belum lama aku duduk, seseorang memegang bahuku. Aku kaget, spontan aku berdiri dan menghadap ke orang yang memegang bahuku. Belum sempat kukeluarkan satu hurufpun, ketika lelaki itu bicara dengan lembut dan sopan.
“Non, Tuan yang biasa duduk di tempat duduk ini, meinitipkan amplop ini untuk Nona. Mari ikut saya.” Seperti tersihir, aku menurut saja tanpa bertanya lagi. Aku keluar kereta itu, mengikuti lelaki tadi. Dia membuka pintu sebuah mobil mewah dan mempersilakan aku masuk. “Saya akan antar Nona sampai tempat kerja.”
“Tuan meminta Nona membuka amplop itu sesampai Nona tiba di tempat kerja.” Selama perjalanan aku hanya diam. Setelah aku turun, lelaki itu berkata lagi, “Silakan dibuka. Akan saya tunggu hingga Nona selesai membacanya. Itu pesan Tuan.” Lalu aku membacanya.
Selamat pagi, bidadariku. Maafkan aku, aku takkan bisa lagi melihat wajahmu yang cantik itu, senyummu yang menarik itu, dan matamu yang berbinar itu. Aku takkan bisa menemuimu, lagi, sampai kapanpun. Fisikku yang lemah dan penyakitku yang kian hari kian menggerogoti tubuhku, membuat dokter memvonisku tidak boleh terlalu capai. Bersama surat ini, kuberikan dua buah lukisan hasil karyaku. Yang berlatar awan adalah bidadari yang kulihat di mimpiku, dan yang berlatar jendela gerbong itu kau. Mirip ya? Aku ingin bisa memilikimu, tapi ternyata aku tak bisa. Aku hanya bisa memandangmu, tapi bagiku itu sudah lebih dari cukup. Sekarang aku harus istirahat total di rumah, karena kondisiku yang makin parah. Maafkan aku, bidadariku. Maafkan aku bila aku selalu memperhatikanmu di kereta walau tak kausadari, bila aku ingin mengenalmu lebih jauh, dan bila mencintaimu begitu dalam karna Allah, sedangkan aku tak mampu lagi walau hanya memandangmu. Terima kasih atas segala yang kau lakukan pada hidupku. Kau telah mengubah segala yang ada di diriku.Demi Allah Aku mencintaimu. Salam, -Bima-
Setelah kubaca, kupandang lelaki setengah baya di hadapanku. Dan tanpa aku bertanya dia berkata, “Tuan berpesan agar amplop ini diserahkan setelah Tuan berpulang. Tuan telah berpulang pagi ini, pukul lima lewat dua puluh menit. Akan dimakamkan nanti pukul sepuluh. Bila Nona berkenan, Tuan ingin Nona untuk tidak masuk kerja hari ini dan melayat ke rumah duka.” Dadaku seperti tertimpa beban beribu-ribu ton.
Kudekap surat itu, kupanjatkan doa untuknya. Air mataku menitik, dan aku berbisik lirih, “Aku juga mencintaimu.” Lalu aku masuk mobil itu lagi. ***
Rintik: Cerita Pendek
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)