Senin, 22 Februari 2010
Melihat Faris tidur, Dwi bergegas memberesi semua baju-baju kotor yang tertumpuk di pojok kamar mandi. Karena sedikit tergesa baju daster yang dikenakannya terkait sebuah paku yang menyembul di antara pintu kamar mandi. Syukur tidak robek, hanya jahitan pinggirnya yang terlepas.
Kalau melihat dasternya yang mulai kelihatan buram warnanya, dengan jahitan tangan disana-sini, terkadang ada rasa keluh dihatinya. Tadi lagi-lagi sedikit tepinya robek,dan dijahit. Dua daster penggantinya semuanya masih kotor, barusan satu kena muntah Faris, bayinya. Dan yang satu lagi memang baru dipakai kemaren sore. Keduanya nasibnya sama, memprihatinkan.
Dia meringis kecut, memang usia ketiganya sama dengan lama dia hijrah ke Surabaya, saat awal akan kuliah dulu. Mama membawakan 3 daster manis-manis, waktu itu.
Sekarang, dia masih tetap pakai, karena belum ada adik baru bagi baju harian ini.
Gaji suaminya yang dosen baru tak cukup untuk dia sisihkan buat beli baju. Selalu saja,kumpulan uang yang dia sisihkan untuk niat beli baju tak kesampaian. Tiga bulan kemaren Faris kehabisan susu,sementara gaji suaminya sebagiannya digunakan untuk bayar kontrakan rumah mungilnya sekarang. Dan bulan ini mestinya uang yang dia kumpul cukup untuk memenuhi keinginannya itu, tapi kemaren sore terpaksa dipakai buat obat Faris yang sudah 3 hari ini tidak enak badan, panas dan muntah terus.
Sambil terus mengais air di bak-bak cucian,pikirannya melayang ke masa gadisnya dulu. Berasal dari keluarga berada ,tentu saja semua yang dia inginkan terpenuhi. Baju seperti yang dia pakai sekarang ini mungkin mama sudah pakai buat lap dapur, atau buat kain pel. Tapi sekarang kehidupan awal rumah tangganya yang memang mulai dari nol, mengharuskan dia benar-benar pandai mengatur uang gaji suaminya. Tapi memang inilah konsekwensi dari pilihannya.
Dia ingat benar pesan ustadzahnya, jadi istri memang harus pandai pandai mengatur uang belanja. Pandai memprioritaskan mana yang dibutuhkan terlebih dulu. Butuh, bukan ingin. Kebutuhan memiliki prioritas yang bertingkat-tungkat, jauh setelah itu barulah keinginan. Itupun juga harus dipilah lagi keinginan yang bagaimana. Selalu qonaah terhadap pemberian suami, berapapun itu besarnya. Anggap bahwa apa yang ada di genggamanmu itu cukup, dan jangan pernah berpikir tidak cukup. Terima dengan ikhlas, dan jangan banyak mengeluh. Selama kita senantiasa mampu mensyukuri “pembagian” dari Allah itu, niscaya Allah akan senantiasa menambah rezekiNya pada kita, dan pesan itu melekat benar dalam hatinya.
Ketika datangnya pinangan Iman kepadanya, memang mama dan papa terlihat ragu. Bagaimana tidak, Iman yang dikenalnya sebagai kakak kelasnya yang aktifis masjid kampus memang baru saja bekerja sebagai dosen, belum ada setahun, dan baru saja selesai pra jabatan. Dia sendiri masih menyelesaikan tugas akhirnya sehingga jelas sudah didepan kedua orang tuanya kehidupan bagaimana yang akan dilalui olehnya bila bersuamikan Iman. Tapi hatinya tetap teguh, rezeki itu datangnya dari Allah. Pernikahan itu akan banyak membukakan pintu rezeki pada kita, bahkan dari tempat yang kita tidak terpikir sebelumnya. Itu juga pesan sang ustadzah ketika dia mengutarakan keberatan orang tuanya.
Dan memang benar, dengan tekad bulat menjalankan sunnah Rasullullah, akhirnya kedua orang tuanya melepas kepergiannya. Menyerahkannya pada Iman, laki-laki yang sekarang menjadi suaminya. Soal rezeki memang turun naik. Tetapi sampai saat ini alhamdullillah dapurnya selalu mengepul. Meski dosen baru, ajakan mengerjakan proyek sering datang, sehingga mereka bisa kumpulkan uang itu untuk membayar kontrakkan rumah dan terkadang SPPnya. Membayar biaya persalinan buah hati pertama mereka dan sedikit simpanan, yang terkadang terpaksa terpakai juga kalau ada kebutuhan mendesak yang lain.
Belum sempat memang dia membeli sepotong tambahan bajupun sejak pernikahannya yang kali ini sudah menginjak bulan yang ke 16. Tak apa, toh membeli baju sampai saat ini masih termasuk katagori keinginan bagi dia, bukan kebutuhan. Dia pikir dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit sisa belanja mungkin suatu hari juga akan bisa juga mendapatkan sepotong baju. Baju-baju yang dia punya dari zaman gadisnya beberapa masih cukup pantas untuk dipakai. Hanya beberapa yang nampak sudah kelihatan cukup tua. Dasternyalah yang karena paling sering dipakai yang sering membuatnya tergoda mendapat yang baru lagi. Apalagi kalau pas datang ke rumah beberapa teman yang sudah mapan, dan melihat mereka mengenakan pakaian yang cukup lumayan, kadang godaan mulai menggoyahkan.
Lamunannya melayang mendengar ketukkan keras pintu depan. Khawatir tidur Faris terbangun dengan berjingkat-jingkat dia intip sosok di depan pintu yang di kenal betul. Mbak Irah,penjual rongsokkan yang sebulan sekali datang kerumahnya, siap membeli barang bekas apa saja. Kadang kertas-kertas, kadang botol-botol bekas kecap, minyak, atau sirup, atau botol-botol obat. Lumayan, meski tidak banyak, paling tidak bisa buat tambahan belanja. Rasanya sudah lebih dari dua bulan mbak Irah tidak mampir ke rumahnya.
“Masuk mbak,” Dwi mempersilahkan Mbak Irah yang perutnya kelihatan makin membuncit. Anak yang ketiga katanya, subhanallah. Dengan kondisi perut 8 bulanan begitu masih juga dia mengangkat barang-barang rongsokkan berjalan kaki dari Keputih sampai Kenjeran. Meski terkadang kelihatan dia bersama dengan suaminya yang membawa sepeda pancal dan gerobak kecilnya.
“Sebentar mbak yah, kok lama gak kelihatan..”kata Dwi sambil berjalan masuk mengambil botol dan kertas yang dia kumpulkan. Lumayan banyak karena lebih dari dua bulan.
“Iya mbak, saya libur di rumah dulu sementar.”kata mbak Irah, matanya nampak sendu.
“Sakit ya mbak,” tanya Dwi sambil berjongkok,menata botol dan kertas-kertasnya.
Mereka hanya duduk pada selembar karpet sederhana. Belum ada Sofa di rumahnya. “Nggak mbak, suami saya barusan meninggal, “jawab mbak Irah datar. Dwi sedikit terkejut.
“Inna lillahi wa inna lillahi roojiun,”spontan ucapan Dwi.
“Dua hari setelah kami mampir kesini dua bulanan yang lalu, suami saya tertabrak truk. Bawaanya terlalu berat waktu itu, jadi oleng pas ada bemo melintas cepat di sampingnya. Sayangnya jatuhnya ke samping, di jalan. Bersamaan dengan itu ada truk yang melintas dan menabraknya. Cukup parah, sehingga hanya sehari di rumah sakit Gusti Allah memanggilnya,” cerita mbak Irah mengalir tanpa diminta.
Yang mendapat cerita hanya tertegun, matanya berkaca-kaca. “Masya Allah,semoga Allah melapangkan kubur suami mbak Irah. Mbak Irah yang sabar ya menerima ujian Allah ini,. Insha Allah semua ada hikmahnya.”
Dwi menatap iba wanita di depannya.Ya Allah berat benar cobaan wanita ini,sebulan lagi mau melahirkan anak ketiganya, ditinggal mati suaminya pula. Masya Allah.
“Iya Mbak, insya Allah saya ikhlas kok, begitupun anak-anak. Mereka tahu kalau ayahnya dipanggil Gusti Allah. Karena Gusti Allah sayang sama ayah mereka,’katanya sambil tersenyum. Senyuman yang nampak tulus dan ikhlas.
Wanita itu diam. Sebentar kemudian wajahnya menatap Dwi. Sedikit ragu dia berucap: “Mbak, kalau Mbak memiliki pakaian yang sudah tak terpakai, bolehkah buat saya. Atau mungkin dari teman Mbak yang lain.Semua pakaian saya sudah seperti ini." Wanita malang itu menunjukkan bajunya yang sudah banyak tembelan disana sini.
“Itu kalau ada loh Mbak,’katanya lagi.
Mata Dwi menggenang,lamunannya barusan sekilas teringat lagi. Wanita itu lebih butuh dari aku, hatinya berkata.
“Insya Allah Mbak, saya coba carikan nanti. Seminggu lagi datang ya. Saya coba tanyakan teman-teman juga,” janji Dwi.
“Ini delapan ratus perak Mbak,,’kata Irah menyerahkan uang hitungan botol-botol dan kertas dari Dwi.
“Ambil saja Mbak, kali ini buat anak-anak sampeyan saja.”
Dwi menolak uang yang disodorkan Mbak Irah.
“Tidak mbak, ini kan uang penjualan barang-barang ini. Saya tak mau. Ini hak Mbak Dwi,”tolak Irah pula dan meletakkan uang receh delapan ratus itu ke box buku di depannya.
“Iya deh , alhamdullillah terima kasih,”jawab Dwi akhirnya, dan memungut uang itu.
”Saya terima, tapi tolong simpankan uang ini buat anak-anak sampeyan ya. Mungkin butuh buat beli susu mereka.” Dwi menggenggamkan recehan uang itu ke tangan Irah. Mata wanita malang itu berkaca-kaca. “Terima kasih banyak Mbak. Semoga Gusti Allah membalas kebaikkan mbak,”kata Irah sambil berdiri dan memohon diri. “Amin.”
Ditutupnya pintu kembali, dan menjawab salam Irah yang berlalu menjauh.
Terdengar suara tangis Faris yang terbangun.
Diangkatnya bayinya dan berbisik di telinga si kecil,
“Kita masih lebih beruntung nak daripada keluarga mbak Irah. Ummi harus lebih banyak qonaah dan belajar dari mereka-mereka itu,” Ujarnya lirih sambil mendekap buah hatinya.
*) Kenangan pertengahan 1997, seperti diceritakan “Mbak Dwi” kepada saya,tentang mbak Irah.
sumber: Grup Facebook Penyejuk Qolbu
Kalau melihat dasternya yang mulai kelihatan buram warnanya, dengan jahitan tangan disana-sini, terkadang ada rasa keluh dihatinya. Tadi lagi-lagi sedikit tepinya robek,dan dijahit. Dua daster penggantinya semuanya masih kotor, barusan satu kena muntah Faris, bayinya. Dan yang satu lagi memang baru dipakai kemaren sore. Keduanya nasibnya sama, memprihatinkan.
Dia meringis kecut, memang usia ketiganya sama dengan lama dia hijrah ke Surabaya, saat awal akan kuliah dulu. Mama membawakan 3 daster manis-manis, waktu itu.
Sekarang, dia masih tetap pakai, karena belum ada adik baru bagi baju harian ini.
Gaji suaminya yang dosen baru tak cukup untuk dia sisihkan buat beli baju. Selalu saja,kumpulan uang yang dia sisihkan untuk niat beli baju tak kesampaian. Tiga bulan kemaren Faris kehabisan susu,sementara gaji suaminya sebagiannya digunakan untuk bayar kontrakan rumah mungilnya sekarang. Dan bulan ini mestinya uang yang dia kumpul cukup untuk memenuhi keinginannya itu, tapi kemaren sore terpaksa dipakai buat obat Faris yang sudah 3 hari ini tidak enak badan, panas dan muntah terus.
Sambil terus mengais air di bak-bak cucian,pikirannya melayang ke masa gadisnya dulu. Berasal dari keluarga berada ,tentu saja semua yang dia inginkan terpenuhi. Baju seperti yang dia pakai sekarang ini mungkin mama sudah pakai buat lap dapur, atau buat kain pel. Tapi sekarang kehidupan awal rumah tangganya yang memang mulai dari nol, mengharuskan dia benar-benar pandai mengatur uang gaji suaminya. Tapi memang inilah konsekwensi dari pilihannya.
Dia ingat benar pesan ustadzahnya, jadi istri memang harus pandai pandai mengatur uang belanja. Pandai memprioritaskan mana yang dibutuhkan terlebih dulu. Butuh, bukan ingin. Kebutuhan memiliki prioritas yang bertingkat-tungkat, jauh setelah itu barulah keinginan. Itupun juga harus dipilah lagi keinginan yang bagaimana. Selalu qonaah terhadap pemberian suami, berapapun itu besarnya. Anggap bahwa apa yang ada di genggamanmu itu cukup, dan jangan pernah berpikir tidak cukup. Terima dengan ikhlas, dan jangan banyak mengeluh. Selama kita senantiasa mampu mensyukuri “pembagian” dari Allah itu, niscaya Allah akan senantiasa menambah rezekiNya pada kita, dan pesan itu melekat benar dalam hatinya.
Ketika datangnya pinangan Iman kepadanya, memang mama dan papa terlihat ragu. Bagaimana tidak, Iman yang dikenalnya sebagai kakak kelasnya yang aktifis masjid kampus memang baru saja bekerja sebagai dosen, belum ada setahun, dan baru saja selesai pra jabatan. Dia sendiri masih menyelesaikan tugas akhirnya sehingga jelas sudah didepan kedua orang tuanya kehidupan bagaimana yang akan dilalui olehnya bila bersuamikan Iman. Tapi hatinya tetap teguh, rezeki itu datangnya dari Allah. Pernikahan itu akan banyak membukakan pintu rezeki pada kita, bahkan dari tempat yang kita tidak terpikir sebelumnya. Itu juga pesan sang ustadzah ketika dia mengutarakan keberatan orang tuanya.
Dan memang benar, dengan tekad bulat menjalankan sunnah Rasullullah, akhirnya kedua orang tuanya melepas kepergiannya. Menyerahkannya pada Iman, laki-laki yang sekarang menjadi suaminya. Soal rezeki memang turun naik. Tetapi sampai saat ini alhamdullillah dapurnya selalu mengepul. Meski dosen baru, ajakan mengerjakan proyek sering datang, sehingga mereka bisa kumpulkan uang itu untuk membayar kontrakkan rumah dan terkadang SPPnya. Membayar biaya persalinan buah hati pertama mereka dan sedikit simpanan, yang terkadang terpaksa terpakai juga kalau ada kebutuhan mendesak yang lain.
Belum sempat memang dia membeli sepotong tambahan bajupun sejak pernikahannya yang kali ini sudah menginjak bulan yang ke 16. Tak apa, toh membeli baju sampai saat ini masih termasuk katagori keinginan bagi dia, bukan kebutuhan. Dia pikir dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit sisa belanja mungkin suatu hari juga akan bisa juga mendapatkan sepotong baju. Baju-baju yang dia punya dari zaman gadisnya beberapa masih cukup pantas untuk dipakai. Hanya beberapa yang nampak sudah kelihatan cukup tua. Dasternyalah yang karena paling sering dipakai yang sering membuatnya tergoda mendapat yang baru lagi. Apalagi kalau pas datang ke rumah beberapa teman yang sudah mapan, dan melihat mereka mengenakan pakaian yang cukup lumayan, kadang godaan mulai menggoyahkan.
Lamunannya melayang mendengar ketukkan keras pintu depan. Khawatir tidur Faris terbangun dengan berjingkat-jingkat dia intip sosok di depan pintu yang di kenal betul. Mbak Irah,penjual rongsokkan yang sebulan sekali datang kerumahnya, siap membeli barang bekas apa saja. Kadang kertas-kertas, kadang botol-botol bekas kecap, minyak, atau sirup, atau botol-botol obat. Lumayan, meski tidak banyak, paling tidak bisa buat tambahan belanja. Rasanya sudah lebih dari dua bulan mbak Irah tidak mampir ke rumahnya.
“Masuk mbak,” Dwi mempersilahkan Mbak Irah yang perutnya kelihatan makin membuncit. Anak yang ketiga katanya, subhanallah. Dengan kondisi perut 8 bulanan begitu masih juga dia mengangkat barang-barang rongsokkan berjalan kaki dari Keputih sampai Kenjeran. Meski terkadang kelihatan dia bersama dengan suaminya yang membawa sepeda pancal dan gerobak kecilnya.
“Sebentar mbak yah, kok lama gak kelihatan..”kata Dwi sambil berjalan masuk mengambil botol dan kertas yang dia kumpulkan. Lumayan banyak karena lebih dari dua bulan.
“Iya mbak, saya libur di rumah dulu sementar.”kata mbak Irah, matanya nampak sendu.
“Sakit ya mbak,” tanya Dwi sambil berjongkok,menata botol dan kertas-kertasnya.
Mereka hanya duduk pada selembar karpet sederhana. Belum ada Sofa di rumahnya. “Nggak mbak, suami saya barusan meninggal, “jawab mbak Irah datar. Dwi sedikit terkejut.
“Inna lillahi wa inna lillahi roojiun,”spontan ucapan Dwi.
“Dua hari setelah kami mampir kesini dua bulanan yang lalu, suami saya tertabrak truk. Bawaanya terlalu berat waktu itu, jadi oleng pas ada bemo melintas cepat di sampingnya. Sayangnya jatuhnya ke samping, di jalan. Bersamaan dengan itu ada truk yang melintas dan menabraknya. Cukup parah, sehingga hanya sehari di rumah sakit Gusti Allah memanggilnya,” cerita mbak Irah mengalir tanpa diminta.
Yang mendapat cerita hanya tertegun, matanya berkaca-kaca. “Masya Allah,semoga Allah melapangkan kubur suami mbak Irah. Mbak Irah yang sabar ya menerima ujian Allah ini,. Insha Allah semua ada hikmahnya.”
Dwi menatap iba wanita di depannya.Ya Allah berat benar cobaan wanita ini,sebulan lagi mau melahirkan anak ketiganya, ditinggal mati suaminya pula. Masya Allah.
“Iya Mbak, insya Allah saya ikhlas kok, begitupun anak-anak. Mereka tahu kalau ayahnya dipanggil Gusti Allah. Karena Gusti Allah sayang sama ayah mereka,’katanya sambil tersenyum. Senyuman yang nampak tulus dan ikhlas.
Wanita itu diam. Sebentar kemudian wajahnya menatap Dwi. Sedikit ragu dia berucap: “Mbak, kalau Mbak memiliki pakaian yang sudah tak terpakai, bolehkah buat saya. Atau mungkin dari teman Mbak yang lain.Semua pakaian saya sudah seperti ini." Wanita malang itu menunjukkan bajunya yang sudah banyak tembelan disana sini.
“Itu kalau ada loh Mbak,’katanya lagi.
Mata Dwi menggenang,lamunannya barusan sekilas teringat lagi. Wanita itu lebih butuh dari aku, hatinya berkata.
“Insya Allah Mbak, saya coba carikan nanti. Seminggu lagi datang ya. Saya coba tanyakan teman-teman juga,” janji Dwi.
“Ini delapan ratus perak Mbak,,’kata Irah menyerahkan uang hitungan botol-botol dan kertas dari Dwi.
“Ambil saja Mbak, kali ini buat anak-anak sampeyan saja.”
Dwi menolak uang yang disodorkan Mbak Irah.
“Tidak mbak, ini kan uang penjualan barang-barang ini. Saya tak mau. Ini hak Mbak Dwi,”tolak Irah pula dan meletakkan uang receh delapan ratus itu ke box buku di depannya.
“Iya deh , alhamdullillah terima kasih,”jawab Dwi akhirnya, dan memungut uang itu.
”Saya terima, tapi tolong simpankan uang ini buat anak-anak sampeyan ya. Mungkin butuh buat beli susu mereka.” Dwi menggenggamkan recehan uang itu ke tangan Irah. Mata wanita malang itu berkaca-kaca. “Terima kasih banyak Mbak. Semoga Gusti Allah membalas kebaikkan mbak,”kata Irah sambil berdiri dan memohon diri. “Amin.”
Ditutupnya pintu kembali, dan menjawab salam Irah yang berlalu menjauh.
Terdengar suara tangis Faris yang terbangun.
Diangkatnya bayinya dan berbisik di telinga si kecil,
“Kita masih lebih beruntung nak daripada keluarga mbak Irah. Ummi harus lebih banyak qonaah dan belajar dari mereka-mereka itu,” Ujarnya lirih sambil mendekap buah hatinya.
*) Kenangan pertengahan 1997, seperti diceritakan “Mbak Dwi” kepada saya,tentang mbak Irah.
sumber: Grup Facebook Penyejuk Qolbu
Rintik: Kisah Sekitar Kita
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)