Jumat, 19 Maret 2010
Ihsan tampak berlari cepat keluar dari ruang kelasnya siang hari itu. Saking terburu-burunya
sampai-sampai dia menabrak tempat sampah yang ada di depan pelataran sekolahnya. Dia pun menghentikan larinya dan memunguti kembali sampah yang berserakan karena tabrakannya. Setelah itu dia kembali berlari. Menuju rumahnya. Menuju tempat kedua orang tuanya menunggu kedatangannya.
sampai-sampai dia menabrak tempat sampah yang ada di depan pelataran sekolahnya. Dia pun menghentikan larinya dan memunguti kembali sampah yang berserakan karena tabrakannya. Setelah itu dia kembali berlari. Menuju rumahnya. Menuju tempat kedua orang tuanya menunggu kedatangannya.
Hal ini bermula ketika Ihsan melihat pengumuman yang tertempel di papan tulis kelasnya yang menyatakan bahwa dia dan semua temannya lulus ujian akhir SMA. Terlebih ketika dia melihat namanya berada di urutan kedua peraih nilai tertinggi. Tak henti-hentinya dia mengucapkan kalimat hamdalah sebagai ungkapan rasa syukur. Banyak pula temannya yang melakukan hal serupa bahkan ada yang sampai sujud syukur.
Namun dia sadar. Kegembiraan ini juga harus dirasakan kedua orang tuanya. Mereka juga harus tahu bahwa anak semata wayang mereka lulus ujian dengan nilai yang tinggi. Hal inilah yang membuat dia terburu-buru keluar dari sekolahnya. Berlari menuju rumahnya untuk memberitahukan berita gembira ini pada kedua orang tuanya.
Namun dia sadar. Kegembiraan ini juga harus dirasakan kedua orang tuanya. Mereka juga harus tahu bahwa anak semata wayang mereka lulus ujian dengan nilai yang tinggi. Hal inilah yang membuat dia terburu-buru keluar dari sekolahnya. Berlari menuju rumahnya untuk memberitahukan berita gembira ini pada kedua orang tuanya.
Akhirnya sampailah dia di depan rumahnya yang sederhana. Sebelum masuk ke dalam rumah, dia atur nafasnya agar di dapat menyampaikan kabar kelulusannya dengan lancar. Setelah dia merasa nafasnya sudah sedikit tenang, dia pun membuka pintu rumahnya.
“Assalamu’alaikum…” ucapnya ketika memasuki rumah.
“Wa’alaikumussalam…” terdengar jawaban ibunya dari dalam.
Tak lama kemudian ibunya muncul dari dalam rumah. Ihsan pun langsung mencium tangan ibunya itu dengan penuh takdzim. Melihat Ihsan tampak kelelahan, terlebih melihat keringat Ihsan yang bercucuran, ibunya pun bertanya,
“Kamu kenapa nak kok berkeringat seperti ini?”
“Ihsan tadi habis lari dari sekolah Bu. Ada berita penting yang ingin segera Ihsan sampaikan pada Ibu dan Bapak. Berita yang Insya Allah sangat menggembirakan bagi Bapak dan Ibu.” Jawab Ihsan bersemangat.
“Berita apa memangnya Nak?”
“Ihsan lulus Bu. Dan alhamdulillah nilai Ihsan terbaik nomor dua.”
“Alhamdulillah…” ucap ibu Ihsan sambil mengatupkan kedua tangan di dada.
Beliau pun langsung mengecup kening Ihsan, anak yang telah dirawatnya selama delapan belas tahun itu.
“Selamat ya Nak,” ucap beliau lagi sambil meneteskan air mata keharuan.
“Iya terima kasih Bu. Bapak mana Bu? Bapak pasti juga senang mendengar berita ini.” kata Ihsan tak sabar.
“Bapakmu belum pulang. Insya Allah nanti kita beritahu berita ini pada Bapakmu. Beliau pasti juga sangat senang dan bahagia seperti Ibu. Sudah lebih baik kamu sekarang mandi dan ganti baju. Setelah itu sholat dan makan. Ya?”
“Iya baik Bu,” kata Ihsan.
Dia pun kemudian beranjak menuju kamarnya untuk melepas baju seragamnya dan mengambil handuk. Setelah itu dia menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya yang penuh oleh peluh dan keringat. Sementara dari ruang tamu, ibunya memandanginya dengan wajah bangga penuh haru. Ya Allah anak yang telah kurawat selama ini telah dewasa, terima kasih ya Allah, Engkau telah menjadikannya anak yang pintar dan sangat berbakti pada kami, ucap beliau dalam hati.
***
Setelah mandi dan berpakaian, Ihsan pun melaksanakan sholat dzuhur. Setelah sholat dia melakukan sujud syukur. Dalam sujud tak henti-hentinya dia mengucap syukur. Syukur atas semua kenikmatan yang telah diberikan Allah untuknya. Termasuk nikmat lulus ujian dan nikmat kasih sayang dari kedua orang tuanya. Dia pun berdoa semoga dia dapat menjadi anak yang senantiasa berbakti pada kedua orang tuanya dan senantiasa membahagiakan mereka berdua.
Dan benarlah apa dugaan Ihsan. Ayahnya begitu bahagia mendengar berita kelulusan Ihsan ketika dirinya memberitahu beliau selepas beliau pulang kerja dari sawah. Beliau bahkan langsung sujud syukur berkali-kali, tak peduli peluh masih melekat di tubuhnya. Wajah beliau tampak begitu bahagia sekalipun gurat-gurat lelah masih terpancar di wajah tuanya. Namun semua kelelahan itu seolah sirna oleh berita dari Ihsan.
Malam itu pula ibu Ihsan mengadakan syukuran kecil-kecilan untuk merayakan kelulusan Ihsan dan syukur atas semua nikmat yang telah diberi Allah pada keluarganya. Kecil-kecilan karena hanya dirayakan oleh Ihsan dan kedua orang tuanya.
***
Malam itu, lepas tiga hari semenjak hari kelulusan Ihsan, saat itu Ihsan tengah berbaring di kamar tidurnya. Dia tengah berpikir-pikir apa yang dia lakukan setelah lulus nanti. Apakah melanjutkan ke bangku kuliah atau langsung bekerja. Dia sebenarnya ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, namun dia juga ingin membantu ayah dan ibunya. Dengan bekerja tentulah dapat sedikit membantu keuangan keluarga. Namun tetap saja keinginannya untuk kuliah jauh lebih kuat. Dia ingin tetap terus menuntut ilmu. Ah lebih baik besok saja kubicarakan dengan Bapak dan Ibu, pikirnya.
Mengingat orang tuanya, tak henti-hentinya Ihsan kagum pada keduanya. Begitu besar kasih sayang mereka pada dirinya. Yang membuatnya kagum adalah ketulusan dan keteguhan hati kedua orang tuanya ketika merawatnya. Dia ingat dulu saat ia masih kecil, ia sangat nakal. Sering kali menyusahkan ayah dan ibunya. Namun ayah dan ibunya tak pernah satu kali pun memarahinya. Paling-paling mereka hanya memberi nasihat atau paling tidak peringatan.
Namun seiring dengan semakin dewasanya Ihsan, kenakalannya pun mulai berkurang. Dia pun tak pernah lagi menyusahkan keuda orang tuanya. Malah sebaliknya dia membuat mereka bangga dengan prestasi-prestasinya di sekolah yang selalu juara kelas. Bahkan saat lulus SMP dia menjadi juara umum. Saat itu ayah dan ibunya sangat gembira dan mereka langsung mengadakan syukuran. Tak tanggung-tanggung hampir seluruh tetangganya ikut diundang dalam acara syukuran tersebut.
Begitu besar kasih sayang kedua orang tuanya, sampai-sampai mereka rela berkorban demi Ihsan. Saat Ihsan membutuhkan biaya untuk masuk SMP, ibunya sampai rela menjual perhiasannya. Untunglah saat SMP itu Ihsan hampir selalu memperoleh beasiswa termasuk saat SMA sehingga dapat meringankan beban kedua orang tuanya.
Bapak, Ibu, begitu besar kasih sayangmu padaku. Entah apakah aku bisa membalas semua kebaikan kalian atau tidak, selain dengan baktiku pada kalian. Aku sangat mencintai kalian Pak, Bu. Berulang kali dia mengucapkan hal tersebut dalam hatinya.
Malam semakin larut. Akhirnya Ihsan pun memutuskan untuk tidur. Setelah membaca doa, dia pun memejamkan mata. Belum sempat matanya terpejam, samar-samar dia mendengar suara orang bercakap-cakap. Dari kamar orang tuanya. Suara ayah dan ibunya.
“Barangkali sudah saatnya Bu.” Terdengar suara ayahnya.
“Memangnya Bapak benar-benar yakin mau memberitahukannya pada Ihsan? Memangnya Bapak siap?”
“Mau nggak mau kita harus siap Bu. Kita kan sudah sepakat akan memberi tahu hal yang sesungguhnya pada Ihsan saat dia sudah dewasa. Nah Bapak rasa sekaranglah saat yang tepat untuk itu Bu.”
“Apa tidak lebih baik ditunggu beberapa waktu lagi Pak? Ibu takut Ihsan tidak siap menerimanya.”
“Kapan lagi Bu? Ihsan sudah dewasa sekarang. Sudah saatnya dia tahu yang sesungguhnya.”
“Mungkin Bapak benar. Tapi bagaimana cara memberitahukannya pada Ihsan Pak?”
“Nanti kita beri tahu pelan-pelan. Ibu siap-siap buat besok saja.”
Kemudian suara ayah dan ibu Ihsan tak dapat lagi didengar lagi oleh Ihsan. Mungkin mereka berbicara pelan, yang pasti masih terdengar suara dari kamar mereka sekalipun sayup-sayup dan tidak jelas.
Ihsan bertanya-tanya. Hal apa yang akan diberitahukan Bapak dan Ibu? Apa sebenarnya yang harus dia ketahui saat dia dewasa? Dan apa pula sebenarnya yang disembunyikan oleh Bapak dan Ibu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikirannya. Mengelayuti alam bawah sadarnya.
***
Ihsan tengah hendak melaksanakan salat duha, keesokan paginya, ketika ayahnya tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya.
“San kamu hari ini ada acara?” tanya beliau.
“Insya Allah tidak ada Pak. Memangnya ada apa Pak?”
“Bapak dan Ibu mau mengajakmu ziarah ke kuburan simbahmu. Sekalian mau ke suatu tempat menjenguk seseorang.”
“Menjenguk siapa Pak?”
“Kamu nanti akan tahu. Setelah salat kamu siap-siap ya.”
“Iya Insya Allah Pak.”
Setelah itu ayahnya keluar kamar. Tinggallah Ihsan di kamar dengan kepala penuh tanda tanya. Bapak dan Ibu mau mengajakku menjenguk siapa ya?
Setelah salat duha, Ihsan segera bersiap-siap. Berganti pakaian. Setelah itu dia pergi ke ruang tamu tempat ayah dan ibunya menunggu. Dan kemudian bersama-sama mereka pergi ke ziarah di sebuah pemakaman umum yang letaknya tak jauh dari tempat tinggal Ihsan. Hanya sekitar dua kilometer saja.
Rupanya selain ziarah ke makam kakek dan neneknya, oleh ayah dan ibunya Ihsan juga diajak ke sebuah makam yang belum pernah dia ketahui selama ini. Makam siapa ini? Tanya Ihsan dalam hati.
“Ini makam adik Bapak.” Ayahnya seperti mengetahui isi hatinya.
“Adik Bapak? Siapa Pak? Kok Ihsan belum pernah tahu?”
“Adik perempuan Bapak. Dia meninggal 18 tahun yang lalu. Kamu memang tidak pernah tahu karena Bapak belum pernah bercerita mengenai dia padamu.”
“Sudah Pak, San. Kita baca Yasin. Hari sudah agak siang.” Kata ibu Ihsan.
“Iya. Ayo.”
Mereka pun langsung membaca surat Yasin yang dilanjutkan dengan doa. Ihsan membaca sambil hatinya terus diliputi pertanyaan mengenai adik perempuan ayahnya yang makamnya berada di hadapannya.
Setelah berziarah, ayah dan ibunya mengajaknya ke suatu tempat, yang ternyata adalah sebuah rumah sakit jiwa. Ihsan heran kenapa ayah dan ibunya mengajaknya ke sana .
“Kenapa kita ke sini Pak?” tanyanya.
“Seperti yang Bapak katakana tadi, kita mau menjenguk seseorang.” Jawab ayahnya.
“Siapa Pak?”
“Sudah nanti kamu juga tahu.”
Jawaban itu lagi, ucap Ihsan dalam hati.
Di rumah sakit jiwa itu Ihsan diajak ayah dan ibunya ke sebuah bilik tempat merawat pasien rumah sakit tersebut. Di dalam bilik tersebut Ihsan melihat seorang laki-laki yang kelihatannya memang terganggu pikirannya karena dilihatnya lelaki itu tertawa dan berbicara sendiri. Tak lama kemudian menangis. Begitu terus berulang-ulang. Entah kenapa hatinya begitu miris melihat keadaan laki-laki itu.
“Siapa laki-laki itu Pak?”
“Dia suami almarhumah adik Bapak.”
“Dia…”
“Ya seperti yang kamu lihat. Dia terganggu pikirannya. Tepatnya semenjak isterinya meninggal.”
“Jadi dia, maaf, gila selama 18 tahun?”
“Benar. Kasihan dia. Dia begitu terpukul ketika mengetahui isterinya meninggal. Dia sangat syok dan dan langsung kalap. Dia terus berteriak-teriak sampai akhirnya pikirannya terganggu.” Kali ini ibunya yang menjawab, sambil terisak.
“Begitulah. Dan karena itu pihak keluarga membawanya kemari. Dengan harapan dia bisa sembuh. Namun harapan ternyata tinggal harapan. Kata dokter yang merawatnya, dia sudah tidak punya harapan lagi untuk bisa sembuh.” Sambung ayahnya.
“Jadi dia akan terganggu pikirannya untuk selamanya?” tanya Ihsan.
“Wallahu alam. Hanya Allah yang tahu. Kita sih berdoa saja semoga dia bisa cepat pulih pikirannya.”
“Benar San. Doakan agar dia bisa sembuh ya Nak?” ucap ibunya.
“Insya Allah Bu.”
Dia terus memandangi laki-laki itu dengan hati miris. Dia merasa iba melihat keadaan laki-laki itu dan kejadian yang telah dialaminya. Entah kenapa dia merasakan sesuatu yang lebih dari rasa kasihan. Perasaan yang tidak dapat dia jelaskan seperti apa. Yang pasti dia merasa sangat sedih melihat kadaan laki-laki itu, yang dia ketahui adalah suami dari almarhumah adik perempuan ayahnya.
***
Ihsan pulang ke rumah dengan hati penuh dengan sejuta pertanyaan yang belum terjawab dan memenuhi relung pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan mengenai almarhumah adik perempuan ayahnya, yang makamnya tadi dia kunjungi, dan mengenai laki-laki di rumah sakit jiwa, yang merupakan suami dari adik ayahnya tersebut. Ingin dia tanyakan hal-hal teresebut pada ayah dan ibunya. Namun belum sempat dia tanyakan, ayahnya berkata kepadanya.
“Ihsan nanti malam kamu jangan pergi ke mana-mana ya. Ada yang ingin Bapak dan Ibu bicarakan malam ini.”
“Mengenai apa Pak? Kanapa tidak sekarang saja?”
“Nanti malam saja. Kita kan baru sampai. Kamu istirahat saja dulu,” kali ini ibunya yang menjawab.
“Benar San. Kamu lebih baik istirahat dulu. Bapak dan ibu juga sangat capek,” ujar ayahnya.
“Baik Pak Bu.”
Ihsan pun pergi ke kamarnya. Hatinya masih diliputi sejuta tanda tanya. Mengenai hal tadi dan mengenai sikap ayah dan ibunya yang menurutnya seperti menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang sepertinya masih belum boleh untuk dia ketahui.
***
Sepertinya ada hal yang cukup serius yang ingin ayah dan ibu Ihsan sampaikan pada dirinya, karena terlihat wajah keduanya tampak begitu serius. Bahkan wajah ibu Ihsan pias seperti menahan beban yang sangat berat.
Duduk di hadapannya, kedua orang tua Ihsan masih belum mengeluarkan sepatah kata pun. Hal itu membuat Ihsan semakin penasaran apa yang hendak ayah dan ibunya bicarakan padanya.
“Pak, Bu, katanya ada yang ingin Bapak dan Ibu bicarakan pada Ihsan. Apa itu Pak, Bu?” tanya Ihsan memecah keheningan.
Ayahnya tampak mengambil nafas panjang sebelum akhirnya beliau berkata.
“Ihsan kamu sudah besar sekarang. Sudah dewasa.”
Ayah Ihsan kembali terdiam. Ihsan tak berani menyela. Dengan sabar dia menunggu hal yang ingin dibicarakan oleh ayahnya. Sementara ibunya tampak diam seribu bahasa sambil menundukkan kepalanya.
“Setelah Bapak dan Ibu pikirkan masak-masak, sudah saatnya kami memberitahukan padamu hal yang sebenarnya.” lanjut ayahnya.
“Hal yang sebenarnya? Mengenai apa itu Pak?”
“Mengenai statusmu.”
“Maksud Bapak?” tanya Ihsan penuh tanda tanya. Dia sama sekali belum mengerti arah pembicaraan ayahnya tersebut.
Sambil menghela nafas panjang ayahnya menjawab, “San, Bapak harap kamu siap mendengar semua ini. Bapak dan Ibu berharap kamu bersabar begitu mendengar kenyataan yang sebenarnya mengenai dirimu.”
“Sebenarnya apa yang ingin Bapak sampaikan?” tanya Ihsan tidak sabar.
Kembali ayahnya menghela nafas panjang dan berkata, “San, sebenarnya kami berdua bukan orang tua kandung kamu.”
Ihsan tersentak. Dia bagaikan mendengar petir yang begitu menggelegar ketika mendengar ucapan ayahnya tersebut. Setengah tidak percaya dia mencoba mencerna kata-kata ayahnya. Aku bukan anak Bapak dan Ibu? Ucapnya dalam hati.
Melihat gurat kekagetan di wajah Ihsan, ayahnya kembali berkata.
“San, maafkan kami harus mengatakan hal tersebut padamu. Sebenarnya berat bagi bapak dan ibu mengatakan hal yang sebenarnya mengenai statusmu. Tapi kami terlanjur berjanji pada diri kami sendiri bahwa kamu berhak mengetahui hal yang sebenarnya begitu kamu sudah dewasa.”
Ihsan terdiam. Dia tak bisa berkata apa-apa. Dia tampak syok mendengar penuturan ayahnya tersebut.
“San sebenarnya kamu adalah anak dari adik perempuan Bapak yang makamnya tadi siang kita kunjungi. Dan laki-laki di rumah sakit jiwa tadi, sebenarnya dia adalah ayah kandungmu. Kami hanyalah orang tua angkat kamu.”
Ayahnya pun bercerita. Adik perempuan ayahnya, ibu kandung Ihsan, meninggal ketika melahirkan Ihsan. Dan seperti yang dia ketahui, suami dari adik perempuan ayahnya itu, yang ternyata adalah ayah kandungnya, sangat syok dan terpukul mengetahui bahwa isterinya telah meninggal. Pikirannya pun terganggu yang menyebabkan dia harus dirawat di rumahsakit jiwa. Akibatnya dia tidak mampu merawat Ihsan kecil yang saat itu masih bayi.
Dan karena tidak ada yang mampu merawat Ihsan kecil itulah, akhirnya ayah dan ibunya yang sekarang berinisiatif untuk merawatnya mengingat mereka sendiri tidak mempunyai anak. Dengan penuh kasih sayang mereka merawat Ihsan. Bahkan mereka menganggap Ihsan adalah anak kandung mereka sendiri.
Ihsan mendengar semua itu dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya terjawablah sudah semua pertanyaan yang dari tadi siang menggelayutinya. Pertanyaan-pertanyaan mengenai sosok adik perempuan ayahnya dan laki-laki yang dia lihat di rumah sakit jiwa. Termasuk pertanyaan mengenai hal yang disembunyikan oleh ayah dan ibunya, yang ternyata adalah ayah dan ibu angkatnya. Namun dia masih tidak percaya dengan semua kenyataan tersebut.
“Kenapa Bapak dan Ibu memberi tahu semua ini kepada Ihsan?” tanyanya.
“Maafkan Bapak dan Ibu jika ini semua mengejutkanmu, Nak Kami merasa kamu juga berhak tahu yang sebenarnya. Bahwa kami hanyalah orang tua angkat kamu.” Ibunya akhirnya mengeluarkan suara. Meski dengan mata berkaca-kaca.
“Jadi… jadi Ihsan benar-benar bukan anak kandung Bapak dan Ibu?”
“Maafkan Bapak dan Ibu jika kami harus memberitahukan semua ini padamu. Kami memang bukan orang tua kandung kamu. Tapi sekalipun kamu hanya anak angkat Bapak dan Ibu kami tetap menganggapmu anak kami. Darah daging kami.”
“Maafkan bapak dan ibu jika ini semua mengejutkanmu, Nak. Kamu boleh marah pada Bapak dan Ibu karena kami memberitahukanmu kenyataan ini. atau bila kami tidak dari dulu-dulu memberitahumu. Silakan jika kamu marah pada Bapak dan Ibu.” Ucap ibunya sambil terisak.
“Tidak Bu. Ihsan tidak akan marah pada bapak dan ibu. Ihsan bahkan ingin berterima kasih karena Bapak dan Ibu mau merawat Ihsan. Dan mau menganggap Ihsan sebagai anak Bapak dan Ibu. Ihsanlah yang seharusnya meminta maaf Pak, Bu.” Ucap Ihsan sambil bersimpuh di kaki ayah ibunya.
Dengan penuh kasih sayang, ibunya membelai rambut Ihsan.
“Ihsan sekalipun kami telah memberitahukan kenyataan ini padamu, kamu tetap anak Bapak dan Ibu. Anak yang kami sayangi dan kami cintai,” ucap ibu Ihsan sambil mengangkat wajah Ihsan yang penuh bercucur air mata.
“Benar Ihsan. Kamu tetap anak Bapak dan Ibu. Kami akan tetap menyayangimu.” Ucap ayahnya pula sambil berurai air mata pula.
“Bapak dan Ibu juga tetap orang tua Ihsan sampai kapan pun. Ihsan akan terus berbakti pada Bapak dan Ibu. Akan terus menyayangi Bapak dan Ibu.”
“Terima kasih kamu tetap menganggap kami sebagai orang tua kamu. Kami sangat menyayangi kamu Nak,” ucap ibunya.
“Tapi kamu juga harus ingat Nak. Kamu juga masih mempunyai ayah kandung. Sekalipun dia tak pernah sanggup merawatmu dia tetap ayah kamu juga. yang juga berhak untuk kamu sayangi. Tukjukkanlah baktimu pada orang tua kandungmu dengan terus mendoakan mereka. Terutama pada ayahmu, doakanlah dia diberi kesembuhan oleh Allah,” kata ayahnya.
“Iya. Insya Allah Ihsan juga akan berbakti padanya juga pada ibu kandung Ihsan. Sebesar bakti dan kasih sayang Ihsan pada Bapak dan Ibu.”
Dalam hati Ihsan sangat kagum pada kebesaran hati ayahnya. Kebenaran hati yang membuatnya semakin menyayangi ayah dan ibunya.
Dan kembali dengan penuh kasih sayang, kedua orang tua Ihsan membelai kepala Ihsan. Dan kemudian Ihsan langsung memeluk keduanya. Memeluk kedua orang tua yang telah merawatnya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Mereka berpelukan dengan mata penuh berurai air mata. Air mata kebahagiaan dan kasih sayang.
***
sumber: group islamunderattack
Rintik: Cerita Pendek
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)